Sabtu, 24 Januari 2009

Virus Resesi Dunia Kian Ganas

Jakarta - Ramalan pemburukan ekonomi global mulai menunjukkan kenyataan. Beberapa negara merilis data pertumbuhan ekonomi yang membuktikan adanya perlambatan. Resesi sudah dimulai di Asia kemudian menjalar ke berbagai negara Eropa.




Foto: Gordon Brown

Badan Nasional Statistik Inggris, Jumat (23/1) mengumumkan pertumbuhan ekonomi (PDB) Inggris pada kuartal keempat 2008 tergelincir 1,5%, dibandingkan kuartal sebelumnya yang turun 0,6%. Angka ini merupakan level terendah dalam 30 tahun terakhir sekaligus mengkonfirmasi masuknya Inggris dalam resesi, sejak 1991 lalu.

PM Inggris Gordon Brown mengatakan bahwa pemerintahnya berusaha mengatasi krisis ekonomi di negaranya seraya menambahkan bahwa kerjasama internasional merupakan hal vital yang menjadi perhatiannya.

Faktor utama yang mempengaruhi penurunan gross domectic product (GDP) adalah turunnya produktivitas sektor manufaktur dan jasa, berlanjut pada berkurangnya permintaan produk-produk ekspor, sehingga perusahaan pun merugi.

Produksi sektor manufaktur pada kuartal keempat turun 4,6%, sektor tambang turun 1,6%, listrik turun 0,2% dan sektor jasa anjlok 1%. Kondisi perekonomian Inggris yang sejak belakangan ini merosot pun semakin tertekan.

Kontraksi ekonomi juga terjadi di Asia. Singapura menjadi negara pertama yang mengalami resesi. Pada Rabu (21/1) lalu, pemerintah Singapura mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal keempat 2008 mengalami kontraksi 16,9% secara tahunan.

Kontraksi ini melebihi prediksi semula sebesar 12,5%. Sementara pertumbuhan ekonomi Singapura sepanjang 2008 hanya naik 1,2%, melambat tajam dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 7,7%.

Pemerintah Singapura pun meramalkan bahwa ekonomi negaranya pada 2009 akan mengalami kontraksi 2–5%. Prediksi ini meningkat dibandingkan tiga minggu sebelumnya, sebesar 1–2%.

Kontraksi yang signifikan terjadi pada produksi manufaktur yang pada kuartal keempat lalu anjlok 10,7% sementara sektor jasa masih cukup stabil, dengan kontraksi 0,1%.

Resesi besar ini memaksa pemerintah Singapura menggunakan cadangan devisa untuk pertama kalinya sepanjang sejarah.

Cadangan devisa Singapura per Desember 2008 mencapai US$ 174,2 miliar. Bank sentral Singapura mengambil langkah dengan menetapkan apresiasi dolar Singapura di level 0%. Namun, pasar berekspektasi nilai mata uang Singapura juga akan didevaluasi. Fokus Singapura saat ini adalah mempertahankan penciptaan lapangan kerja.

Sebelumnya, Kamis (22/01), dua negara Asia lainnya yaitu China dan Korea Selatan merilis data yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi mereka mengalami perlambatan.

Ekonomi China pada kuartal keempat 2008 melemah dalam tujuh tahun terakhir, dengan pertumbuhan 6,8%. Padahal, kuartal ketiga lalu, PDB di negara perekonomian terbesar ketiga dunia ini adalah 9%. Bahkan pada 2007, pertumbuhan ekonomi China sempat mencapai 13%.

Salah satu faktor utama penurunan ini adalah anjloknya permintaan ekspor akibat resesi global. Ekonomi China beberapa tahun terakhir memiliki ketergantungan cukup besar terhadap ekspor.

Bank sentral China pun diperkirakan kembali menurunkan tingkat suku bunganya. Pemerintah China merencanakan mengeluarkan stimulus fiskal yang cukup besar untuk mengatasi pelambatan ekonomi ini.

Sedangkan Korea Selatan juga mengalami kontraksi ekonomi kuartal keempat yang jauh melebihi estimasi akibat anjloknya konsumsi, ekspor, maupun investasi. Kontraksi terjadi sebesar 5,6% dibandingkan kuartal sebelumnya dan dihitung tahunan 3,4%.

Alhasil, industri otomotif, di negara itu melakukan berbagai efisiensi. Hyundai Motors dan Kia Motors memutuskan mengurangi jam kerja karyawannya, GM Daewoo dan Renault Samsung Motors menghentikan produksi sejak Desember lalu.

Pemerintah Korea pun diperkirakan akan menggenjot sisi pengeluaran untuk mengembalikan pergerakan roda ekonomi negaranya, dengan menaikkan stimulus fiskal yang semula dianggarkan 51 triliun won (US$ 37 miliar). Selain itu bank sentral Korea (BoK) diyakini akan kembali menurunkan tingkat bunganya.

Bagaimana dengan negara maju di Asia, yaitu Jepang? Setelah mengkonfirmasi masuk dalam resesi akhir tahun lalu, negara Sakura ini terus merilis data yang menunjukkan pemburukan ekonomi.

Seperti data ekspor Desember yang turun drastis 35% dibandingkan tahun sebelumnya, melebih perkiraan analis yang meramalkan ekspor turun sebesar 30,3%. Anjloknya ekspor ini adalah yang terbesar sejak 1980.

Sementara itu impor di Jepang mengalami penurunan 21,5% dibandingkan tahun sebelumnya. Neraca perdagangan Desember pun mengalami defisit 1,5 triliun, melebihi estimasi sebelumnya bahwa defisit akan mencapai 0,33 triliun yen.

Penurunan ekspor ini mengindikasikan bahwa resesi masih akan berkelanjutan di Jepang. Pasalnya, dengan turunnya produksi perusahaan, penurunan gaji, dan peningkatan pengangguran, negara yang tergantung dengan ekspor ini akan semakin tertekan.
◄ Newer Post Older Post ►