Sabtu, 24 Januari 2009

Nasib Pidana Pemilu Pasca SP3 PKS

Jakarta - Kasus pidana Pemilu 2009 yang membelit para petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) besar kemungkinan tidak berlanjut. Sinyal negatif sudah diberikan Kejaksaan Agung. Buruknya koordinasi antar aparat diduga jadi alasan kuat terbitnya Surat Pemberhentian Penyidikan Perkara (SP3) kasus ini.

Sejauh ini, Polda Metro Jaya memang belum secara resmi mengeluarkan perintah penghentian kasus tersebut. Tetapi, naga-naganya kasus ini hanya berhenti sampai di polisi saja. Bawaslu dianggap kurang berkoordinasi dengan polisi dan kejaksaan.

“Bawaslu itu yang tidak (berkoordinasi dengan kejagung dan polisi). Satker Gakumdu (Satuan Kerja Gabungan Hukum Terpadu) inisiatif. Jaksa Agung dan Kapolri berinisiatif menutup kelemahan itu,” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum AH Ritonga.

Ritonga mengakui banyak pelanggaran yang dilakukan parpol selama masa kampanye. Tetapi, khusus untuk kasus yang menjerat Presiden PKS Tifatul Sembiring cs masih mengalami kendala lemahnya barang bukti. Bila dilimpahkan ke tingkat penuntutan, Kejaksan memastikan akan memulangkan kembali berkas tersebut ke polisi.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sendiri mengaku kecewa bila kasus pidana tersebut benar dihentikan. Sebab, apa yang dilakukan PKS dalam aksi demo menentang agresi Israel pada awal bulan ini merupakan bentuk kampanye tidak langsung. Buktinya, banyak atribut lambang dan nomor urut PKS yang berkibar dalam demo tersebut.

"Itu urusan polisi kalau mau dihentikan silahkan saja, tetapi kami kecewa," ujar Bambang.

Sikap Kejaksaan yang buru-buru menilai laporan Bawaslu lemah tak ayal menuai kritik. Seharusnya, alasan minimnya adanya koordinasi tidak lantas dijadikan alasan keluarnya SP3. "Saya setuju adanya koordinasi tapi tidak untuk dijadikan alasan SP3. Itu terlalu mengada-ada," nilai Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Jeirry Sumampow kepada WANDINEWS.

Sejatinya, berdasarkan UU 10/2008 tentang Pemilu, Kejaksaan dan kepolisian harus menindaklanjuti setiap kasus pelanggaran pemilu. Koordinasi yang dilakukan dalam tingkatan Satker Gakumdu hanya sebatas menyamakan persepsi semata."Kasusnya kan belum dilihat secara benar dan menyeluruh," paparnya.

"Agar tidak terulang lagi setiap parpol tentunya harus mematuhi aturan yang ada. Jangan memanfaatkan moment tertentu untuk kepentingan politik," saran Jeirry.

Karena itu, mantan anggota Panwaslu 1999, Titik Anggraeni mengusulkan Bawaslu dan KPU wajib segera memiliki pandangan yang sama mengenai kampanye. "Bawaslu dan KPU perlu duduk bareng untuk membahas definisi kampanye itu sendiri. Apa harus secara kumulatif memenuhi unsur jenis kampanye atau cukup salah satunya seperti pemasangan alat peraga dalam suatu kegiatan?" urai Titik.

Bila masalah ini didiamkan maka akan banyak parpol yang meniru langkah PKS. Sebab, definisi kampanye yang ada masih bias. "Ini seperti yang saya duga akan di-SP3-kan karena kasus yang sama juga pernah terjadi di Pemilu sebelumnya," tandasnya.

Dirinya meyakini bila Sentra Gakumdu dimanfaatkan maka wacana SP3 ini tidak akan terangkat ke permukaan. Tidak hanya itu, selain menyeret ke ranah hukum, Bawaslu juga hendaknya melaporkan dugaan pelanggaran pemilu ke KPU untuk dapat dikenai sanksi. "Kalau dilaporkan sekarang sudah terlambat. Karena pelanggaran pemilu itu harus dilaporkan maksimal lima hari setelah Panwaslu menemukannya," ucap Titik.

Bila kasus PKS ini benar dihentikan tentu akan jadi pukulan telak bagi Bawaslu. Kinerja para Pengawas Pemilu ini setidaknya akan diragukan karena dianggap tidak becus dan serius memidanakan PKS. Dan ini preseden terburuk dalam pelaksanaan pemilu.
◄ Newer Post Older Post ►