Minggu, 25 Januari 2009

Serangan Israel Berakhir, Penyelundupan Senjata Jadi Perhatian

Jakarta (WANDI News) - Setelah selama 22 hari Israel menggempur Jalur Gaza dan menewaskan lebih dari 1.300 orang serta melukai 5.000 orang lainnya, perhatian bukan lagi tertuju pada penderitaan rakyat di jalur sempit tapi miskin tersebut, tapi justru bergeser kepada masalah penyelundupan senjata oleh HAMAS.

Untuk itu, Menteri Pertahanan Israel Ehud Olmert dijadwalkan berkunjung ke Washington pekan terakhir Januari guna membahas kesepakatan bilateral guna menghentikan penyelundupan senjata ke Jalur Gaza.

Ia akan menjadi pejabat tinggi pertama Israel yang pergi ke Washington sejak berakhirnya agresi maut Israel selama 22 hari ke Jalur Gaza yang dikuasai Haraqat Al-Muqawwamah Al-Islamiyah (HAMAS) pada 18 Januari dan sejak Presiden AS Barack Obama diambil sumpahnya.

Israel pertama kali melancarkan agresi militer ke Jalur Gaza pada 27 Desember melalui serangan udara yang kemudian dilanjutkan dengan ofensif darat.

Barak, yang dijadwalkan bertolak ke Amerika, Selasa 27 Januari, dijadwalkan bertemu dengan Menteri Pertahanan AS Robert Gates guna membahas penerapan nota persepahaman Israel-AS yang ditandatangani 16 Januari dengan tujuan menghentikan penyelundupan senjata di perbatasan Mesir - Jalur Gaza, kata seorang pejabat Israel kepada AFP.

Kedua pejabat dua negara itu dilaporkan juga akan membahas penjualan senjata AS kepada Israel.

Israel mengkaitkan penghentian sepihak serangannya ke Jalur Gaza dengan tercapainya kesepakatan antara Amerika Serikat dan Mesir guna mencegah penyelundupan senjata ke daerah kantung yang dikuasai HAMAS itu, tempat staf medis mengatakan lebih dari 1.300 orang meninggal selama "Operasi Meraih Keunggulan" Israel. Di pihak Israel, 13 orang tewas sejak operasi itu dimulai.

Pada 16 Januari, Amerika Serikat dan Israel menandatangani Nota Persepahaman di Washington guna menghentikan penyelundupan senjata ke Jalur Gaza sehingga kedua negara dapat mendorong gencatan senjata langgeng di wilayah yang dicabik perang itu.

Sementara itu, menurut surat kabar The Jerusalem Post sebagaimana dikutip Xinhua, Israel telah menyetujui mekanisme baru guna mencegah senjata diselundupkan ke Jalur Gaza.

Perdana Menteri Israel Ehud Olmert, Barak dan Menteri Luar Negeri Tzipi Livni bertemu pada Kamis malam (22/1), dan menyetujui penerapan mekanisme baru yang dibentuk bersama Mesir guna mencegah penyelundupan senjata ke Jalur Gaza, demikian The Jerusalem Post.

Mekanisme baru ini terdiri atas tiga lapis; kerjasama intelijen, diciptakannya penghalang di Gurun Sinai, Mesir, dan penggelaran teknologi baru pendeteksi terowongan di sepanjang perbatasan.

Pertemuan Kamis malam itu diselenggarakan setelah Amos Gilad, pemimpin Biro Diplomatik-Militer di Kementerian Pertahanan Israel, kembali dari ibukota Mesir, Kairo --tempat ia bertemu dengan para pejabat pemerintah Mesir, termasuk Kepala Dinasi Intelijen Omar Suleiman, untuk membicarakan mekanisme baru anti-penyelundupan tersebut.

Laporan dalam surat kabar The Jerusalem Post, mengutip keterangan beberapa pejabat pertahanan Israel, menyebutkan bahwa Gilad tampaknya akan mengunjungi Mesir setiap dua pekan guna mengawasi pelaksanaan mekanisme itu.

Israel telah berulangkali menyatakan tujuan dari operasinya baru-baru ini ke Jalur Gaza adalah untuk memberi pukulan keras terhadap HAMAS dan memaksa kelompok garis keras Palestina itu untuk mengakhiri kampanye anti-Israel dan menghentikan penyelundupan senjata dari Mesir ke Jalur Gaza melalui terowongan.

Gilad dan para pejabat Mesir juga membahas nasib Gilad Shalit, prajurit Israel yang ditangkap para pejuang dari Jalur Gaza dalam serangan lintas-perbatasan pada Juni 2006.

Israel menyatakan serangan mematikannya ke Jalur Gaza juga menciptakan kondisi yang lebih baik guna menjamin pembebasan Shalit melalui pertukaran dengan anggota HAMAS yang menangkapnya.

"Operasi tersebut menciptakan kondisi dasar yang akan memungkinkan kami mendekati pembahasan secara berbeda ... Saya harap operasi ini membantu kami," kata Wakil Menteri Pertahanan Israel Matan Vinai, sebagaimana dilaporkan AFP.

"(Kopral) Gilad (Shalir) telah menjadi agenda sepanjang operasi dan sejak ia ditangkap. Kami akan melakukan apa saja yang dapat kami lakukan untuk mengembalikan dia. Serangan lintas-perbatasan adalah salah satunya," kata Vinai kepada radio swasta Israel.

"Kami harus membayar mahal untuk membawa dia pulang," kata Vinai.

Ironisnya, sebelum ini pemerintah Israel tak pernah menyebut-nyebut pembebasan Shalit sebagai salah satu sasaran "Operasi Meraih Keunggulan".

Negara Yahudi itu dan HAMAS telah melakukan kontak tidak langsung secara buka-tutup mengenai pertukaran tahanan, dan Gerakan Perlawanan Israel tersebut menuntut pembebasan sebanyak 1.400 orang Palestina yang dijebloskan ke berbagai penjara Israel.



Kebijakan keliru

Sementara itu, HAMAS mengecam pernyataan Presiden baru AS Barack Obama mengenai seruan kepada gerakan Palestina itu agar mengakui Israel.

Jurubicara HAMAS Fawzi Barhoum, dalam pernyataan tertulis yang dikirim kepada wartawan dan dikutip Xinhua, mengatakan tuntutan Obama untuk menerima ketentuan Kuartet Internasional adalah awal dari gerakan keliru kebijakan AS.

Obama, Rabu (21/1) mengatakan HAMAS harus mengakui hak Israel untuk ada, mencela kekerasan dan mematuhi semua kesepakatan terdahulu.

Kuartet Internasional yang mengembargo HAMAS setelah Gerakan Islam tersebut menang dalam pemilihan anggota Dewan Legislatif Palestina pada 2006, menyeru HAMAS agar mengakui Israel dan kesepakatan perdamaian sementara serta mengutuk kekerasan.

"HAMAS menyatakan bahwa tuntutan Barack Obama untuk menerima ketentuan tidak adil Kuartet dan mengakui musuh Zionis serta pernyataannya bahwa apa yang dilakukan Israel sebagai upaya bela diri, adalah awal dari pergeseran dalam kebijakan keliru AS," kata Barhoum.

"Kebijakan salah Amerika di Timur Tengah menjadi penyebab utama penderitaan rakyat Palestina dan juga penghukuman kolektif yang diderita rakyat kami," kata Barhoum.

Ia menambahkan, kebijakan tidak adil Amerika Serikat telah mengakibatkan perang kejam yang dilancarkan oleh kaum Zionis terhadap rakyat Palestina. "Kami tak melakukan kesalahan apa pun kecuali menggunakan aksi perlawanan bersenjata guna membela rakyat kami," katanya.

Sementara itu di Teheran, seorang komandan Korps Pengawal Revolusi Islam Iran (IRGC) sebagaimana dilaporkan laman Internet Press TV, Sabtu, menyatakan Obama mesti menjauhkan diri dari pemerintah Israel sebagai langkah awal menuju perubahan.

Brigadir Jenderal Mir-Faisal Baqerzadeh mengatakan AS memberi dukungan membabibuta kepada Israel, dan menyeru Obama agar memahami konsekuensi tindakan Israel di wilayah tersebut.

"Presiden Ke-44 AS tak dapat mengklain mampu membawa perubahan penting dengan cara yang telah dilancarkan Wasington, kecuali ia dapat mengakiri pendekatan berat sebelah Gedung Putih ke arah rakyat Palestina," kata Baqerzadeh.

Ia mengecam sikap bungkam Presiden Obama selama serangan Israel ke Jalur Gaza dan mengatakan sikap itu mengundang kecaman, terutama dari dunia Muslim, padahal Presiden baru AS tersebut bereaksi cepat dalam mengeluarkan pernyataan mengenai serangan di Mumbai dan sejumlah masalah lain.

Pada Selasa malam (20/1), tak lama setelah Obama diambil sumpahnya sebagai presiden baru As, Menteri Luar Negeri Iran Manouchehr Mottaki meminta presiden baru AS itu untuk mewujudkan kemunculan "Timur Tengah yang baru".

Sebelumnya seorang anggota keluarga Kerajaan Arab Saudi, Pangeran Turki al-Faisal menulis artikel yang diterbitkan laman Internet Financial Times bahwa Obama mesti mengutuk pendudukan Israel terhadap bangunan di Tepi Barat Sungai Jordan dan blokade terhadap Jalur Gaza, serta menyeru penarikan pasukan Israel secepatnya dari wilayah sengketa Shebaa yang juga diklaim Lebanon.

"Jika pemerintah baru AS tidak melakukan langkah tegas untuk mencegah berlanjutnya penderitaan dan pembantaian terhadap rakyat Palestina, maka proses perdamaian, hubungan AS-Arab Saudi dan kestabilan di kawasan tersebut akan menghadapi risiko," kata Turki, yang juga mantan kepala badan intelijen Arab Saudi dan mantan duta besar Arab Saudi untuk AS dan Inggris.

Namun semua itu hanya harapan, seperti juga harapan dari negara lain di dunia Islam, sementara Obama sendiri telah menegaskan Amerika terikat pada komitmen menjamin keamanan Israel.
◄ Newer Post Older Post ►