Oleh: Ririn Nikho
Aku tinggal di daerah Pesawangan yang agak jauh dari kota. Rumahku terletak di pinggir jalan lintas Sumatra, di sebelah rumahku terdapat sebuah Rumah Gadang (rumah adat Minangkabau) milik nenek moyang keluarga. Rumah gadang itu tak berpenghuni, hanya sesekali saja dipakai untuk acara hajatan atau perkawinan serta tempat bermusyawarah keluarga suku kami. Deru kendaraan yang berlalu lalang setiap waktu tanpa henti melintas sudah menjadi pemandangan sehari-hari bagiku.
Aku hanya tinggal bertiga saja di rumah itu, dengan Mama dan adik perempuanku. Papa telah meninggal beberapa tahun yang lalu, sedangkan kakak tertuaku tengah menempuh pendidikan di luar kota saat itu.
Suatu sore, di bulan Ramadhan. Hujan mengguyur dengan lebat sekali, petir menyambar-nyambar tanpa henti. Mama tengah memasak untuk berbuka nanti, sedang aku dan adikku membantu Mama di dapur. Saat itu, samar-samar aku mendengar suara motor memasuki halaman rumahku. Dengan rasa penasaran aku mengintip di balik tirai, ada dua lelaki berjaket hitam tebal masuk ke halaman rumah dan berteduh di bawah atap rumah gadang kami yang memang bersebelahan dengan rumahku. Dadaku berdegup kencang sekali.
Ya Tuhan, siapakah mereka? Dengan hati risau segera aku bergegas menemui Mama yang sedang memasak. Berbagai pikiran berkecamuk, aku takut kalau mereka punya niat jahat pada kami. Mana hari hujan deras, dan kami perempuan semua. Tetapi Mama berusaha menenangkan aku dan adikku.
“Mungkin mereka hanya ingin berteduh, Nak!” ucap Mama.
“Biar sajalah,” kata Mama lagi.
Sebentar lagi waktu berbuka akan segera tiba, sementara hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Aku mengintip dua lelaki berjaket hitam tebal tersebut. Ternyata mereka masih saja berteduh. Aku tak mengenal mereka, sepertinya mereka bukan warga sini. Yang satu berbadan besar dan sangar, sedangkan yang satu lagi kepalanya botak dan berkacamata. Tampaknya mereka tahu kalau aku mengintip gerak-gerik mereka. Memang tak ada yang mencurigakan tetapi aku takut saja kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Tak lama kemudian Mama membukakan pintu, beduk berbuka telah berbunyi. Adzan maghrib pun berkumandang. Dengan ramah Mama mempersilakan mereka untuk masuk ke rumah kami. Mereka tampak sangat kedinginan akibat hujan tersebut.
“Sekarang sudah waktunya berbuka, Adik berdua tengah berpuasa, kan?”
Mereka mengangguk dengan cepat. Bibir mereka tampak bergetar. Terlihat putih seperti orang menggigil kedinginan. Ada perasaan iba di hati Mama.
“Kalau begitu, silakan diminum tehnya, Dik,” ucap Mama ramah.
“Tidak usah sungkan dan ragu, anggap saja rumah sendiri,” sambungnya lagi.
Mereka tampak sungkan. Tiba-tiba salah satu dari mereka yang bertubuh besar menceritakan bahwa sebenarnya mereka adalah mahasiswa sebuah universitas di Padang. Mereka hendak kembali ke Padang setelah pulang dari kampungnya di Sijunjung. Di tengah perjalanan hujan turun dengan derasnya tepat sesaat sebelum melintas di rumah kami, oleh karena itu mereka sementara waktu berteduh di tepi Rumah Gadang tersebut. Mama pun mengangguk mengerti.
Setelah berbuka dengan penganan yang dibuat Mama, dengan cekatan Mama mengambil piring dan mengisinya dengan lauk yang dimasaknya tadi. Mama dengan tulus memberi tamu asing tersebut makanan untuk berbuka. Awalnya aku sempat protes, karena saat itu aku berpikir tamu ini orang asing, jadi tak perlu basa-basi. Terlebih, dengan datangnya orang yang berteduh itu otomatis makanan kami yang seadanya harus dibagi rata. Aku kesal sekali saat itu. Tetapi Mama kembali menegaskan pada kami untuk tidak boleh pelit.
Mereka pun minta izin untuk shalat di rumah kami, dengan senang hati Mama mempersilakan. Tak ada tampak kecurigaan di wajah Mama pada mereka, yang ada Mama tampak tulus menolong mereka.
“Nggak ada salahnya kan kita menolong dengan ikhlas. Apalagi ini bulan Ramadhan, jadi harus banyak-banyak berbuat kebajikan,” ucap Mama bijak padaku dan adikku.
“Walaupun dengan nasi dan lauk seadanya, kita wajib berbagi dengan sesama. Apalagi mereka kan puasa juga seperti kita, jadi kita harus saling memberi,” tambah Mama lagi. Aku dan adikku hanya manggut-manggut saja menahan kesal.
Mereka lahap sekali makan saat itu, mungkin puasa telah membuat mereka kelaparan. Mereka juga akan menempuh perjalanan yang jauh, jadi Mama mempersilakan untuk makan sebanyak-banyaknya. Tak lama berselang hujan pun reda, mereka dengan sopannya pamit kepada keluarga kecil kami. Mereka sangat berterima kasih atas kebaikan dan ketulusan hati Mama yang telah menolong mereka yang terjebak hujan. Mama hanya tersenyum ikhlas.
Lebaran pun tiba, saat kami tengah berkumpul bersama di rumah. Berhentilah dua sepeda motor di depan rumah kami.
“Siapa ya, aku kayaknya pernah melihat orang ini....,” pikirku saat itu. Segera aku memanggil Mama kalau ada tamu yang datang.
Mama tampak kaget, ternyata yang datang itu adalah mahasiswa yang dulu terjebak hujan di depan rumah kami. Mereka datang membawa kakak perempuannya serta berbagai buah-buahan yang segar untuk keluarga kami. Maksud kedatangan mereka, atas nama keluarga besarnya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada Mama.
Si kakak yang jauh-jauh datang dari Sijunjung itu mengatakan “pertolongan dan budi baik Ibu dengan apa kami balaskan,” matanya tampak berkaca-kaca ketika menceritakan kejadian tersebut.
Mama terharu mendengar cerita itu, tak menyangka kebaikannya membuat orang lain berkesan. Aku yang tadinya kesal sekali karena makanan berbuka kami harus dibagi dengan orang lain yang tidak dikenal, menjadi sangat tersentuh dengan kejadian ini. Bagaimana tidak, kami hanya memberi mereka makan dengan lauk seadanya, tetapi mereka datang kembali untuk membalas kebaikan Mama dengan membawa aneka buah-buahan serta makanan yang lebih dari apa yang telah kami beri saat mereka berbuka di rumah kami.
Sejak saat itu aku menyadari betapa pentingnya kita untuk saling berbagi. Bukan hanya di saat Ramadhan saja, tetapi juga ketika ada orang lain yang tengah kesusahan.
Indahnya hidup bila kita bisa saling memberi....
*Kisah ini diambil dari buku Storycake for Ramadhan: 44 Kisah-kisah Indah & Inspiratif Seputar Ramadhan yang Menyentuh Hati, penerbit oleh Gramedia.
.
.