Namun demikian, batu ajaib dari Banyuwangi itu tidak digunakan untuk mengobati pasien secara massal seperti yang dilakukan oleh Ponari. Pemilik batu ajaib Banyuwangi itu adalah Ahmad Ihsanuji, 32, warga Desa Kebundalem, Kecamatan Bangorejo, Kabupaten Banyuwangi.
Kepada kantor berita Antara, Kamis (12/2) kemarin, Cak Mad (panggilan Ahmad Ihsanuji) menuturkan, dirinya menemukan batu petir itu pada tahun 1990. Kala itu hujan deras yang disertai petir menyambar sejumlah pohon di kebun yang berada di belakang rumahnya.
“Siang itu hujan deras disertai petir. Saya pas duduk di depan musala rumah saya. Sekelebat terlihat petir berwarna hijau kebiruan menghantam pohon kelapa tak jauh dari musala. Setelah hujan reda, saya ke lokasi, dan saat itu saya melihat batu seperti kapak kecil menancap di batang pohon kelapa yang tumbang tersambar petir,” cerita Cak Mad.
“Saya mengambil batu petir itu karena bentuknya unik. Kebetulan, saya sendiri suka mengoleksi barang antik. Panjangnya sekitar 15 cm dan lebar 7 cm. Batu itu saya simpan di dalam kotak kacamata,” imbuh dia.
Ketika seorang tetangganya sedang sakit, Cak Mad yang pernah kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Jember ini mencoba mengobatinya dengan cara mencelupkan batu petir ke dalam segelas air. Namun, air tersebut bukan diminumkan ke pasien, melainkan diusapkan ke pusar.
“Hasilnya, alhamdulillah pasien tersebut sembuh,” kata pria yang masih lajang ini. Seperti diwartakan, dukun cilik Ponari dari Dusun Kebonsari Desa Balongsari Kec. Megaluh, Jombang, menjadi fenomena menarik karena didatangi puluhan ribu warga dari berbagai daerah di Jatim dan Jateng.
Ia disebut-sebut mampu menyembuhkan berbagai penyakit pasien dengan cara mencelupkan batu petir ke dalam air, yang kemudian air celupan itu diminum pasien. Ponari mendapatkan batu petir itu tatkala ia bermain dalam hujan deras yang disertai petir menyambar.
Cak Mad mengatakan, meski terbukti batu petir yang dimilikinya menyembuhkan pasien, dia tidak ingin pasien, tetangganya serta dirinya sendiri menjadi syirik atau menyekutukan Tuhan. Sebab, kalau batu petir itu dibangga-banggakan, bisa muncul anggapan bahwa yang menyembuhkan penyakit adalah batu petir.
“Kalau terkena penyakit, mintalah kesembuhan pada Tuhan. Jangan meminta pada batu,” tandas Cak Mad, yang berhenti kuliah setelah mengalami kebutaan pada kedua matanya di tahun 1999.
Oleh karena itu, semenjak ditemukan, batu tersebut hanya disimpan Cak Mad. Anak ke-10 dari 12 bersaudara ini baru sadar telah memiliki batu petir saat mendengar berita heboh terkait batu petir milik Ponari.
Bagaimanapun, seperti dikutip detik.com, Cak Mad mengatakan bahwa dirinya berencana untuk menguji kembali kekhasiatan batu petir itu, dengan mengobati kelainan pada kedua matanya. Namun demikian, dia tetap akan berpedoman pada akidah agama yang dianutnya.
Ponari Disembunyikan Polisi
Sementara itu, kisah kesaktian Ponari yang setiap hari mampu menyedot puluhan ribu pengunjung ke tempat praktiknya, agaknya benar-benar segera berakhir.
Bocah kelas III SDN 2 Balongsari itu, kemarin sudah benar-benar tidak melakukan pengobatan dengan batu ajaibnya. Tenda-tenda di halaman rumah pamannya Mukhlison (yang biasanya digunakan pengobatan) sudah dibongkar sejak Rabu (11/2) malam.
Sejak Ponari kebanjiran pasien pada 17 Januari lalu, halaman rumah Mukhlison memang digunakan untuk tempat pengobatan. Sebab, halaman rumah Khomsin-Mukaromah (orang tua Ponari) tidak memungkinkan karena sempit.Selain sejumlah tenda di halaman rumah Mukhlison, tenda-tenda di gang sempit menuju lokasi praktik pengobatan Ponari, yang sebelumnya menjadi tempat antrean lautan manusia, juga sudah lenyap dari tempatnya.
“Semua pelengkap pengobatan sudah kami bersihkan,” kata Imam, ketua panitia.
Rumah Mukhlison sendiri, yang selama pengobatan ditempati Ponari dan kedua orang tuanya, juga tampak sepi. Bahkan seluruh pintunya dikunci. Imam mengatakan, Ponari bersama pamannya, Paeno diungsikan sejak Rabu malam. Sedangkan Khomsin dan Mukharomah sejak Kamis pagi.
“Ponari bersama Paeno diungsikan lebih dulu oleh polisi,” kata Imam. Sedangkan ayah dan ibundanya, kata Imam, hanya mengatakan bahwa mereka pergi ke luar daerah, ke rumah kerabatnya.
Tetapi, kendati Ponari sudah jelas-jelas menghentikan pengobatan, ribuan orang masih berduyun-duyun datang ke lokasi. Mereka itu terutama yang sudah memiliki kupon atau karcis, yang sudah didapatkan beberapa hari sebelumnya dari panitia ketika praktik belum ditutup.
Karena hingga siang tak ada kabar Ponari hendak melakukan pengobatan, ratusan orang kembali berebut air yang berasal dari sumur pompa –tempat yang biasa digunakan Ponari untuk mandi.
Tapi itu pun tak berlangsung lama, karena sejumlah panitia dibantu petugas polisi melarang kegiatan itu. Bahkan lewat tengah hari, orang-orang yang masuk ke areal halaman rumah Ponari pun dihalau. Tapi ratusan orang hingga sore tetap bertahan di pintu masuk halaman rumah Mukhlison.
Agar jumlah massa tidak bertambah, mulai sekitar pukul 13.00 WIB polisi melakukan sweeping. Caranya, di pintu masuk Desa Balongsari, polisi menyeleksi warga yang masuk ke desa tersebut.
Jika orang yang ingin masuk warga setempat, dibolehkan lewat. Tapi jika bukan warga setempat, apalagi dengan tujuan tidak jelas, polisi secara halus meminta warga agar tidak masuk desa. “Ponari sudah tidak melakukan pengobatan. Dia ingin sekolah kembali. Silakan pulang,” kata petugas lewat pengeras suara.
“Setelah keadaan benar-benar mereda, kami akan kembalikan ke rumahnya. Kasihan dia. Secara sengaja atau tidak, dia tereksploitasi demi berbagai kepentingan. Hak-haknya sebagai anak terampas. Padahal dia ingin sekolah kembali,” imbuh Khosim.