Wahyudi (45), tetangga dukun cilik Ponari, terheran-heran. Banyak orang yang meminta air sumurnya. Rumah Wahyudi yang dekat dengan rumah Ponari, katanya, oleh para calon pasien itu juga 'kecipratan' kesaktian batu petir milik Ponari.
Wahyudi mengaku tak tahu mengapa banyak orang percaya khasiat air sumurnya. Wahyudi yang bekerja sebagai buruh tani itu mengaku tidak bisa berbuat banyak sekalipun hal tersebut mengganggu aktivitas keluarganya. Orang-orang itu mengaku tidak punya akses pada program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Muliana (40), merayu polisi di ujung pintu masuk Dusun Kedungsari, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Kamis (12/2). Ia bertanya, mengapa pengunjung luar desa dilarang masuk dusun tempat tinggal tabib cilik M Ponari.
Pengusaha salon di Jombang yang sejak empat tahun lalu terkena asam urat itu menuturkan, ia telah tiga kali datang, tetapi selalu gagal menemui Ponari. Muliana berharap kesembuhan dari Ponari karena sudah bosan berobat ke dokter. ”Sekali ke dokter spesialis habis Rp 100.000. Itu seperti duit terbuang karena saya tidak kunjung sembuh,” ujarnya.
Selain Muliana, ada Jatmiko (32) dan Marodi (32). Buruh tani yang datang dari Tuban sejak pagi hari itu mengeluh sakit sendi dan tulang.
”Saya sakit di punggung. Kata dokter, kecapekan. Lima kali berobat enggak sembuh. Teman saya sakit di paha,” kata Jatmiko menunjuk Marodi.
Menurut Jatmiko, biaya dokter Rp 50.000-Rp 100.000 tiap kali datang. Padahal, penghasilan lelaki beranak satu itu hanya Rp 25.000 per hari.
Jatmiko mengaku belum tahu kalau lokasi praktik Ponari ditutup sejak Selasa lalu. Hal serupa dikatakan Marsih (40) dan Tri (32), pedagang di Pasar Ploso, Jombang.
Ribuan calon pasien masih memadati dusun Ponari. Mereka berharap praktik pengobatan Ponari dibuka kembali.
Sebagian dari mereka bahkan bertindak di luar akal sehat. Mereka mengambil air sumur milik tetangga Ponari dan tanah di sekitar rumah Ponari. Mereka percaya air dan tanah itu berkhasiat menyembuhkan.
Hal itu diyakini Ano Setiawan (34) yang datang bersama istrinya dari Madiun untuk mencari kesembuhan bagi anak mereka. Lulusan SMA yang menjadi buruh dengan penghasilan Rp 25.000 per hari itu sudah di lokasi tersebut sejak Minggu, tetapi Ponari belum bisa ditemui. ”Ya, saya ambil air dan tanahnya saja. Pokoknya saya yakin,” kata Ano sambil memotong daun pisang untuk membungkus tanah.
Suwaji (49) dari Bojonegoro juga memutuskan membawa air dari sumur tetangga Ponari. ”Saya sudah ke sini enam kali. Lima kali sebelumnya saya dapat air dari Ponari dan keluarga saya sembuh. Sekarang saya dimintai tolong juragan saya,” ujarnya.
Purwanto (35), pegawai Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, yang ikut mengantre bersama kerabatnya, Sutar (48), mengatakan tidak tahu cara mengakses Jamkesmas.
Calon pasien lain, Istiqomah (54), pedagang ikan laut di Pasar Batu, Kota Batu, mengaku enggan mengurus Jamkesmas karena terlalu berbelit. ”Kalau sama Ponari, langsung datang, (bayar) seikhlasnya dan insyaAllah sembuh. Saya ke dokter berkali-kali dan sudah habis banyak uang, tetapi belum sembuh,” kata Istiqomah.
Latar belakang pasien dan calon pasien Ponari tidak hanya kalangan masyarakat yang kurang mampu atau kesulitan menjangkau pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Padahal, orangtua Ponari, Kamsen (30) dan Mukaromah (28), bersepakat agar anak mereka menghentikan praktik pengobatan. Kesepakatan itu diputuskan pihak keluarga, pimpinan daerah, guru sekolah, dan petugas kesehatan di Kantor Kecamatan Megaluh. Penyebabnya, Ponari jatuh sakit. Ponari juga ingin kembali sekolah, apalagi masyarakat sekitar rumah mereka terganggu akibat banyak orang datang.
Namun, hingga Jumat, Ponari yang duduk di kelas III SD Negeri 1 Balongsari, Megaluh, belum masuk sekolah. Mukhlison, kerabat Ponari yang membantu mengatur calon pasien, mengatakan, untuk sementara Ponari belajar di rumah dibimbing seorang gurunya.