Ini masih seputar relasi antara orang berkulit hitam pertama dengan Yahudi di AS. Namun, dia bukanlah politisi, melainkan aktris kulit hitam pertama yang meraih Piala Oscar. Hal ini bermula dari perkara sederhana, namun mampu membuat popularitasnya anjlok.
Pertengahan Oktober tahun lalu, Halle Berry tampil di program talkshow The Tonight Show yang disiarkan NBC. Aktris terbaik lewat film Monster’s Ball itu berkelakar dengan berkata jika hidungnya tidak lebih besar daripada hidung sepupunya yang Yahudi.
Hal ini langsung menuai badai hujatan terhadapnya. Saluran Fox Channels menyatakan Berry telah menunjukkan sikap anti-Semit yang nyata. Hal ini juga diikuti media-media lain yang juga mengkritiknya, sehingga ia harus meminta maaf berkali-kali sembari mengklarifikasi ucapannya tersebut.
Di AS, memanggil seorang Yahudi dengan sebutan Yahudi memang sudah dianggap sebagai hal yang serius. Pasalnya, isu anti-Semit selalu menjadi hal yang dianggap serius dan bisa berakhir di meja hijau.
Lebih dari itu, jaringan organisasi Yahudi memang mencengkeram kuat di berbagai strata masyarakat Negara Adidaya itu. Padahal, jumlah mereka tidak lebih dari 5 juta jiwa berdasarkan sensus 2006. Sehingga sekecil apapun masalah yang dinilai merugikan citra Yahudi, akan langsung dilibas.
Saat ini, setidaknya ada dua organisasi Lobi Yahudi di AS yang sangat menentukan sikap politik AS. Yakni, Jewish Institute for National Security Affairs (JINSA) dan Center for Security Policy (CSP), yang memiliki hubungan amat erat dengan Committee on the Present Danger (CPD), sebuah wadah para Hawkish (ultrakonservatif) Gedung Putih dan Pentagon, seperti Paul Wolfowitz, Dick Cheney, Karl Rove, dan Richard Perle.
Di bawahnya ada American-Israel Public Affairs Committee (AIPAC). Organisasi-organisasi Zionis ini memiliki tiga agenda besar yang harus dilakukan setiap pemerintahan di AS. Yakni, selalu mendukung Israel, selalu menambah anggaran militer, dan selalu menentang traktat kontrol senjata yang dianggap merugikan AS dan Israel. Lobi Yahudi ini pula yang mengontrol setiap tindakan seorang Presiden AS, apakah menguntungkan atau merugikan Israel.
Pengamat internasional University of Chicago, Joseph Yackley dalam esai berjudul ‘US Security Assistance to Israel’ memaparkan dua cara resmi AS memberikan bantuan bagi Israel. Yakni, lewat program Economic Support Fund (ESF) dan Foreign Military Financing (FMF).
Yang menarik, AS tidak menetapkan syarat-syarat tertentu bagi Israel untuk bantuan itu, seperti dilakukan terhadap negara-negara lain. Bahkan, setiap tahun jumlah bantuan AS untuk Israel selalu bertambah dalam jumlah yang fantastis. Setiap tahun, rata-rata AS menambah jumlah bantuannya kepada Israel sebesar US$ 60 juta.
Bahkan, walaupun mengaku tengah diterpa krisis, AS tidak ragu untuk memberikan diskon sekitar US$ 1 juta bagi jaminan pinjaman ke Israel, dari total US$ 9 juta pada tahun ini.
Hingga kini, Negara Zionis itu telah menggunakan pinjaman AS sebanyak US$ 4,6 miliar. Pinjaman itu diberikan kepada Israel ketika AS memulai agresi militernya ke Irak untuk membantu perekonomian negara itu. Pinjaman itu berperan sangat penting ketika resesi ekonomi global menyerang beberapa negara.
Hal lain yang cukup mencengangkan juga terjadi menjelang akhir masa pemerintahan George W Bush, di awal bulan ini. Ia sampai harus memotong pidato yang tengah disampaikannya di Philadelphia hanya untuk menerima panggilan telepon dari PM Israel, Ehud Olmert.
Saat itu, Olmert meminta presiden AS ke-43 itu menyatakan menolak resolusi gencatan senjata Dewan Keamanan PBB atas agresi Israel di Jalur Gaza. Permintaan itu langsung diiyakan Bush, yang kemudian menelepon Menlu Condoleezza Rice.
Hasilnya, dari 15 negara anggota Dewan Keaman PBB yang membahas resolusi, hanya AS yang menyatakan abstain, dan 14 negara lainnya menyetujui. Hal ini tak urung membuat Rice malu, karena ia harus menolak resolusi perdamaian yang juga disusunnya itu.