Penanggalan Tahun Baru Imlek memiliki sejarah yang panjang. Berbeda dengan penanggalan penanggalan tahun masehi atau tahun hijriah, yang berpedoman pada matahari (Masehi) dan bulan (Hijriah). Karenanya, perayaan tahun baru Imlek selalu jatuh di Bulan Januari dan Februari saja.
Selain punya sejarah yang cukup panjang, penanggalan tahun baru Imlek terkandung misteri luar biasa, yang melibatkan para kaisar China yang berkuasa pada jaman dahulu. Berikut kisah perjalanan panjang penanggalan Imlek.
Tahun baru Imlek atay yin lik berasal dalam bahasa mandarin berarti penanggalan bulan. Di Indonesia namanya Imlek, tapi di negeri asalnya, perayaan ini biasa disebut chunjie (perayaan musim semi). Kegiatan itu juga biasa disebut guo nian (memasuki tahun baru) dan kata ini kemudian oleh masyarakat Tionghoa di era tahun 1980-an lebih dikenal dengan sebutan konyan.
Jika dilihat dari sejarahnya, perhitungan penanggalan Imlek sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu. Perhitungan ini sendiri semula didasarkan atas perhitungan peredaran bulan mengelilingi bumi (kalender bulan).
Dalam sejarah tercatat, penanggalan Imlek dimulai sejak tahun 2637 SM, sewaktu Kaisar Ui Tee/Huang Ti (2698-2598 SM) mengeluarkan siklus pertama pada tahun ke-61 masa pemerintahannya.
Namun penanggalan ini berkembang lain ketika adanya agama Khonghucu. Ketika Kaisar Han Bu Tee atau Han Wu Tee dari Dinasti Han (206 SM-220) berkuasa, yang menetapkan agama Khonghucu sebagai agama negara. Maka secara otomatis penanggalan yang mereka gunakan diubah menjadi penanggalan Imlek seperti yang dianjurkan oleh Nabi Khonghucu.
Dalam perubahan ini, perhitungan kemudian diubah menurut tahun kelahiran Nabi Besar itu yaitu tahun 551 SM. Dengan demikian penanggalan Imlek dan penanggalan masehi berselisih 551 tahun.
Meski telah ditetapkan secara resmi, tapi tak berarti penanggalan ini selamanya digunakan di China. Sebab ternyata penanggalan ini berulang kali diganti oleh dinasti-dinasti yang berkuasa setelah dinasti Han. Bahkan penanggalan ini pun sempat diganti pada zaman Mao Tze Dong (Mao Tse Tung) berkuasa.
Menurut Caleg PDI-P keturunan Tionghoa, Djohan Tjonggiran, meski pernah beberapa kali diganti, masyarakat Negeri China kemudian selalu kembali ke penanggalan yang sebenarnya (mengikuti ajaran Konghucu), sehingga penanggalan ini pun ditetapkan sebagai penanggalan resmi sampai saat ini.
Djohan memaparkan, selama ribuan tahun, orang tionnghoa tidak mengakumulasi angka tahun. Penanggalan administratif dihitung dari mulainya dinasti yang sedang berkuasa. Setiap ada pergantian dinasti, angka tahun dimulai dari awal lagi. Lalu setiap kaisar baru, akan ada tahun kalendarnya juga.
“Ada satu jenis perhitungan yang tidak berdasarkan dinasti, dan digunakan untuk menghitung siklus waktu yang besar. Perhitungan itu lebih bersifat siklik. Siklusnya adalah 12 tahun (masing-masing ditandai dengan lambang zodiac/shio). Lalu ada siklus yang lebih besar 60 tahun (12 shio × 5 unsur). Siklus 60 tahun itu disebut siklus sexagecimal. Siklus inilah yang dipakai, mirip dengan penanggalan Mesopotamia kuno,” terang Djohan Tjonggiran.
Pada perayaan pergantian tahun kali ini, tahun kerbau tanah, Djohan Tjonggiran lebih menekankan kesederhanaan bagi yang merayakannya. Bila perlu, katanya, bagi yang merayakannya lebih kepada sifat social, yakni memberi sedekah kepada masyarakat yang membutuhkannya.
Ia juga menyatakan, bertepatan dengan tahun kerbau tanah ini, sebaiknya masyarakat lebih giat bekerja, apalagi bila dikaitkan dengan krisis global financial menerpa dunia.
“Sebenarnya tahun itu sama saja, tergantung bagaimana kita menyikapinya,” Djohan Tjonggiran mengakhiri.
Selain punya sejarah yang cukup panjang, penanggalan tahun baru Imlek terkandung misteri luar biasa, yang melibatkan para kaisar China yang berkuasa pada jaman dahulu. Berikut kisah perjalanan panjang penanggalan Imlek.
Tahun baru Imlek atay yin lik berasal dalam bahasa mandarin berarti penanggalan bulan. Di Indonesia namanya Imlek, tapi di negeri asalnya, perayaan ini biasa disebut chunjie (perayaan musim semi). Kegiatan itu juga biasa disebut guo nian (memasuki tahun baru) dan kata ini kemudian oleh masyarakat Tionghoa di era tahun 1980-an lebih dikenal dengan sebutan konyan.
Jika dilihat dari sejarahnya, perhitungan penanggalan Imlek sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu. Perhitungan ini sendiri semula didasarkan atas perhitungan peredaran bulan mengelilingi bumi (kalender bulan).
Dalam sejarah tercatat, penanggalan Imlek dimulai sejak tahun 2637 SM, sewaktu Kaisar Ui Tee/Huang Ti (2698-2598 SM) mengeluarkan siklus pertama pada tahun ke-61 masa pemerintahannya.
Namun penanggalan ini berkembang lain ketika adanya agama Khonghucu. Ketika Kaisar Han Bu Tee atau Han Wu Tee dari Dinasti Han (206 SM-220) berkuasa, yang menetapkan agama Khonghucu sebagai agama negara. Maka secara otomatis penanggalan yang mereka gunakan diubah menjadi penanggalan Imlek seperti yang dianjurkan oleh Nabi Khonghucu.
Dalam perubahan ini, perhitungan kemudian diubah menurut tahun kelahiran Nabi Besar itu yaitu tahun 551 SM. Dengan demikian penanggalan Imlek dan penanggalan masehi berselisih 551 tahun.
Meski telah ditetapkan secara resmi, tapi tak berarti penanggalan ini selamanya digunakan di China. Sebab ternyata penanggalan ini berulang kali diganti oleh dinasti-dinasti yang berkuasa setelah dinasti Han. Bahkan penanggalan ini pun sempat diganti pada zaman Mao Tze Dong (Mao Tse Tung) berkuasa.
Menurut Caleg PDI-P keturunan Tionghoa, Djohan Tjonggiran, meski pernah beberapa kali diganti, masyarakat Negeri China kemudian selalu kembali ke penanggalan yang sebenarnya (mengikuti ajaran Konghucu), sehingga penanggalan ini pun ditetapkan sebagai penanggalan resmi sampai saat ini.
Djohan memaparkan, selama ribuan tahun, orang tionnghoa tidak mengakumulasi angka tahun. Penanggalan administratif dihitung dari mulainya dinasti yang sedang berkuasa. Setiap ada pergantian dinasti, angka tahun dimulai dari awal lagi. Lalu setiap kaisar baru, akan ada tahun kalendarnya juga.
“Ada satu jenis perhitungan yang tidak berdasarkan dinasti, dan digunakan untuk menghitung siklus waktu yang besar. Perhitungan itu lebih bersifat siklik. Siklusnya adalah 12 tahun (masing-masing ditandai dengan lambang zodiac/shio). Lalu ada siklus yang lebih besar 60 tahun (12 shio × 5 unsur). Siklus 60 tahun itu disebut siklus sexagecimal. Siklus inilah yang dipakai, mirip dengan penanggalan Mesopotamia kuno,” terang Djohan Tjonggiran.
Pada perayaan pergantian tahun kali ini, tahun kerbau tanah, Djohan Tjonggiran lebih menekankan kesederhanaan bagi yang merayakannya. Bila perlu, katanya, bagi yang merayakannya lebih kepada sifat social, yakni memberi sedekah kepada masyarakat yang membutuhkannya.
Ia juga menyatakan, bertepatan dengan tahun kerbau tanah ini, sebaiknya masyarakat lebih giat bekerja, apalagi bila dikaitkan dengan krisis global financial menerpa dunia.
“Sebenarnya tahun itu sama saja, tergantung bagaimana kita menyikapinya,” Djohan Tjonggiran mengakhiri.