Selasa, 24 Maret 2009

Mafia Gentayangan Di Bungurasih, Harus Setor Rp 30.000 Per Hari

Jaringan sindikat pengemis yang mempekerjakan anak-anak ternyata masih marak beroperasi di wilayah Jatim. Ini terlihat dari bergeliatnya aktivitas pengemis cilik di sejumlah tempat umum, seperti Terminal Purabaya atau Bungurasih.

Khawatir jumlah pengemis makin tak terkendali, petugas di Terminal Purabaya makin mengintensifkan operasi. Hasilnya, Minggu (22/3) lalu, Mohammad Sholeh, 12, pengemis cilik asal Winongan, Kabupaten Pasuruan, ini berhasil ditangkap oleh petugas.
Saat ditangkap, dia menjalankan aksi meminta-minta bersama kakaknya.

Sayangnya, sang kakak yang usianya terpaut sekitar dua tahun ini berhasil kabur. Usai ditangkap, Sholeh dibawa ke lantai satu Kantor UPDT Terminal Purabaya.

Di hadapan petugas, pengemis bocah ini mengaku dirinya mengemis di Terminal Purabaya karena dibawa oleh seorang pria yang jadi bos pengemis anak-anak dengan menggunakan mobil pribadi. “Orangnya dari Mojokerto,” ujarnya kepada petugas, dengan wajah takut.

Sebelumnya, si bos menjemput Sholeh dan kakaknya di daerah Japanan, Pasuruan. Selain Sholeh dan kakaknya, terdapat sekitar delapan anak di mobil itu. Praktik mudah mendapatkan uang ini sudah dilakoni sekitar sebulan, dengan tempat operasi yang berpindah-pindah.

Sesampai di terminal terbesar di Indonesia ini, kakak-beradik yang selalu diberi pakaian compang-camping ini langsung praktik. Mereka menengadahkan tangan kepada orang-orang di terminal. Mulai di ruang tunggu calon penumpang, terminal kedatangan, hingga naik ke bus yang sudah ada penumpangnya.

Karena penampilannya yang memelas, Sholeh dan kakaknya dengan mudah mendapat uang receh. Dia mengaku berhasil mendapat Rp 60.000 setiap harinya. Tapi uang tersebut tidak semua bisa masuk ke kantongnya. “Separuhnya (Rp 30.000) harus saya setorkan ke bos. Biasanya seperti itu,” jelas Sholeh.

Sadar bahwa pengemis cilik yang ditangkap adalah bagian dari sindikasi jaringan, petugas Terminal Purabaya akhirnya berniat menjadikan Sholeh sebagai umpan untuk membongkar sindikasi tersebut. “Kami langsung berkoordinasi dengan aparat kepolisian dan TNI yang ada di terminal,” jelas Kepala UPTD Terminal Purabaya, May Ronald kepada Surya, Senin (23/3).

Akhirnya, selama tujuh jam, sejak pukul 09.00 hingga 16.00 WIB, bocah yang tidak lulus SD itu ditempatkan di lantai satu kantor terminal. Petugas berharap, bos yang ngedrop datang untuk menjemput Sholeh. Waktu pukul 16.00 WIB dipilih, karena biasanya saat-saat itulah, mobil penjemput jaringan pengemis datang. “Tapi kita tunggu lama, ternyata dia tidak datang dan sepertinya sengaja mengorbankan Sholeh,” tukas Ronald.

Karena kasihan, Sholeh akhirnya disuruh pulang. Petugas memberi uang transport Rp 10.000 dan mengantarnya ke terminal keberangkatan jalur lima bus jurusan Pasuruan-Probolinggo-Jember-Banyuwangi dan menitipkan pada sopir. “Sopir bus saya minta menurunkannya di daerah Winongan Pasuruan,” imbuh Rohadi, bintara Brimob yang bertugas di Terminal Purabaya.

Adanya jaringan pengemis ini mengingatkan kita pada sosok Cak To, bos puluhan pengemis di Surabaya. Sebelum menjadi bos pengemis, pria paro baya ini besar dalam keluarga pengemis dan juga berkarir jadi pengemis.

Sejak 2000, Cak To tak perlu lagi menengadahkan tangan di jalanan atau rumah penduduk. Dia cukup mempekerjakan sekitar 54 anak buah pengemisnya. Dengan me-manage puluhan pengemis itu, setiap hari pemasukan bersih bisa mencapai Rp 200.000-Rp 300.000 atau perbulannya sekitar Rp 6 juta hingga Rp 9 juta.

Dengan predikat bos pengemis, Cak To sekarang hidup enak. Dia punya beberapa rumah, mobil, serta sepeda motor. (surya.co.id)

◄ Newer Post Older Post ►