Begitu hebatnya kedai ini sehingga pada saat pembukaan mampu menyedot sekitar 200 konsumen. Keramaian ini tentu saja mengundang kecurigaan masyarakat sekitar yang mulai mempertanyakan kridibilitas kedai kopi ini yang jangan-jangan juga menjual prostitusi.
“Tidak ada kamar khusus atau tempat yang mengundang eksotisme. Ini bukan praktik prostitusi. Ini hanyalah kedai kopi yang disajikan dengan bertelanjang dada,” begitu dijelaskan Jenny Lebree, seorang pramusaji di kedai tersebut.
Pro dan kontra terhadap keberadaan kedai ini makin menjadi. Warga sempat mempertanyakan kepada pemerintah lokal, mengapa di wilayah yang hanya berpenduduk sedikit itu harus ada kedai kopi semacam itu.
Sementara itu, Paula Furbush, salah seorang yang menentang nama kedai itu sempat mempertanyakan, mengapa nama dari kedai kopi tersebut harus menggunakan nama The Grandview Topless. “Ini tidak lucu, mengapa namanya bukan kedai kopi saja. Ini bisa mengundang persepsi yang negatif terhadap warga.”
Menyikapi protes dan keresahan warga setempat, pemilik kedai kopi pun melakukan pengamanan khusus. Pemilik kedai kopi menyewa petugas keamanan yang tugasnya memeriksa KTP pengunjung. Pengunjung kedai kopi juga wajib menandatangani surat yang menyatakan telah berumur 18 tahun ke atas.