Ditulis Oleh Dr. Habib Adjie, SH., M.Hum
Wednesday, 30 April 2008
Dalam rubrik Nasional yang menguraikan PPAT Sejarah, Tugas dan Kewenangannya (Renvoi, nomor 8.44.IV, tanggal 3 Januari 2007) yang merupakan rangkaian dari pendapat Prof. Boedi Harsono, S.H. salah seorang pakar Hukum Agraria Indonesia, yang dalam kesimpulannya bahwa akta PPAT memenuhi syarat sebagai akta otentik yang ditentukan dalam Pasal 1868 BW.
Saya ingin mengkaji kembali apakah betul akta PPAT telah memenuhi syarat sebagai akta otentik berdasarkan ketentuan Pasal 1868 BW termasuk akta otentik…? Untuk menentukan apakah akta PPAT akta otentik atau bukan akan mengunakan parameter ketentuan Pasal 1868 BW merupakan sumber untuk otensitas akta yang dibuat oleh Pejabat Umum (Notaris atau PPAT), dan Undang-undang nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Menurut Pasal 1868 BW, bahwa : eene authentieke acte is de zoodanige welke in den wettelijke vorm is verleden, door of ten overstaan van openbare ambtenaren die daartoe bevoegd zijn ter plaatse alwaar zulks is geschied.
Dengan demikian ada 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi untuk dikategorikan sebagai akta otentik sebagai berikut :
akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat Umum.
akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (wet),
Pejabat Umum oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.
Syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
Akta yang dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat Umum. Akta yang dibuat oleh (door) Pejabat Umum, disebut Akta Relaas atau Akta Berita Acara yang berisi berupa uraian dari Pejabat Umum yang dilihat dan disaksikan Pejabat Umum sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan kedalam bentuk akta otentik. Dan Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) Pejabat Umum, dalam praktek disebut Akta Pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Pejabat Umum. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta otentik. Pembuatan akta, baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta otentik, yaitu harus ada keinginan atu kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka
Pejabat Umum tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak Pejabat Umum dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran Pejabat Umum diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta otentik, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat Pejabat Umum atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan Pejabat Umum. Pengertian seperti tersebut di atas merupakan salah satu karakter yuridis dari akta otentik, dalam hal ini tidak berarti Pejabat Umum sebagai pelaku dari akta tersebut, Pejabat Umum tetap berada di luar para pihak atau bukan pihak dalam akta tersebut. Dengan kedudukan Pejabat Umum seperti itu, sehingga jika suatu akta otentik dipermasalahkan, maka tetap kedudukan Pejabat Umum bukan sebagai pihak atau yang turut serta melakukan atau membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana atau sebagai Tergugat atau Turut Tergugat dalam perkara perdata. Penempatan Pejabat Umum sebagai pihak yang turut serta atau membantu para pihak dengan kualifikasi membuat atau menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik atau menempatkan Pejabat Umum sebagai tergugat yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum, maka hal tersebut telah mencederai akta otentik dan institusi Pejabat Umum yang tidak dipahami oleh aparat hukum lainnya mengenai kedudukan akta otentik dan Pejabat Umum di Indonesia. Dalam tataran hukum yang benar mengenai akta otentik, jika suatu akta otentik dipermasalahkan oleh para pihak, maka: (1). Para pihak datang kembali ke Pejabat Umum untuk membuat pembatalan atas tersebut, dan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut.
(2). Jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta otentik menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta otentik yang sudah didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan? Hal ini tergantung pembuktian dan penilaian hakim. Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari akta yang dibuat Pejabat Umum, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan berupa tuntutan ganti rugi kepada Pejabat Umum yang bersangkutan, dengan kewajiban penggugat, yaitu dalam gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari akta otentik tersebut. Dalam kedua posisi tersebut, penggugat harus dapat membuktikan apa saja yang dilanggar oleh Pejabat Umum, dari aspek lahiriah, aspek formal dan aspek materil atas akta otentik.
Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (wet). Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum dalam bentuk yang sudan ditentukan dalam Undang-undang.
Dalam hal ini Undang-undang harus diartikan sebagaimana yang tersebut dalam Undang-undang nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 1 angka 2 undang-undang tersebut menegaskan bahwa Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Dan Pasal 1 angka 3 undang-undang tersebut menegaskan pula bahwa Undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Ketika kepada para Notaris masih diberlakukan Peraturan Jabatan Notaris (PJN), masih diragukan apakah akta yang dibuat sesuai dengan undang-undang ?
Pengaturan pertama kali Notaris Indonesia berdasarkan Instruktie voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie dengan Stbl. No. 11, tanggal 7 Maret 1822, kemudian dengan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb.1860 : 3), dan Reglement ini berasal dari Wet op het Notarisambt (1842), kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi PJN.
Meskipun Notaris di Indonesia diatur dalam bentuk Reglement, hal tersebut tidak dimasalahkan karena sejak lembaga Notaris lahir di Indonesia, pengaturannya tidak lebih dari bentuk Reglement, dan secara kelembagaan dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954, yang tidak mengatur mengenai bentuk akta. Setelah lahirnya UUJN keberadaan akta Notaris mendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38 UUJN. Akta PPAT sampai dengan saat ini belum diatur keberadaannya dalam bentuk undang-undang, tapi hanya dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri.
Pejabat umum oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu. Wewenang Notaris dan PPAT meliputi 4 (empat) hal, yaitu:
(1). Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat itu; Wewenang Notaris dan PPAT dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, atau Notaris juga berwenang membuatnya disamping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, mengandung makna bahwa wewenang Notaris dalam membuat akta otentik mempunyai wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas, misalnya PPAT mempunyai wewenang terbatas, yaitu hanya membuat 8 (delapan) jenis akta saja.
(2). Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Pejabat Umum – Notaris dan PPAT harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Mengenai orang dan untuk siapa akta dibuat, harus ada keterkaitan yang jelas, misalnya jika akan dibuat akta pengikatan jual beli yang diikuti dengan akta kuasa untuk menjual, bahwa pihak yang akan menjual mempunyai wewenang untuk menjualnya kepada siapapun. Untuk mengetahui ada keterkaitan semacam itu, sudah tentu tentu Notaris akan melihat (asli surat) dan meminta fotocopy atas indentitas dan bukti kepemilikannya. Salah satu tanda bukti yang sering diminta oleh Notaris dalam pembuatan akta Notaris, yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan sertifikat tanah sebagai bukti kepemilikannya. Ada kemungkinan antara orang yang namanya tersebut dalam KTP dan sertifikat bukan orang yang sama, artinya pemilik sertifikat bukan orang yang sesuai dengan KTP, hal ini bisa terjadi (di Indonesia), karena banyak kesamaan nama dan mudahnya membuat KTP, serta dalam sertifikat hanya tertulis nama pemegang hak, tanpa ada penyebutan identitas lain. Dalam kejadian seperti ini bagi Notaris tidak menimbulkan permasalahan apapun, tapi dari segi yang lain Notaris oleh pihak yang berwajib (kepolisian/penyidik) dianggap memberikan kemudahan untuk terjadinya suatu tindak pidana. Berkaitan dengan identitas diri penghadap dan bukti kepemilikannya yang dibawa dan aslinya diperlihatkan ternyata palsu, maka hal ini bukan tanggungjawab Notaris, tanggungjawabnya diserahkan kepada para pihak yang menghadap.
(3). Pejabat Umum harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu di buat.Pejabat Umum – Notaris dan PPAT harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu di buat. Baik Notaris & PPAT mempunyai tempat kedudukan dan wilayah kerjanya masing-masing. Misalnya untuk Notaris sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) UUJN menentukan bahwa Notaris harus berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Setiap Notaris sesuai dengan keinginannya mempunyai tempat kedudukan dan berkantor di daerah kabupaten atau kota (Pasal 19 ayat (1) UUJN). Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 19 ayat (2) UUJN). Pengertian pasal-pasal tersebut bahwa Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak hanya harus berada di tempat kedudukannya, karena Notaris mempunyai wilayah jabatan seluruh propinsi, misalnya Notaris yang berkedudukan di Kota Surabaya, maka dapat membuat akta di kabupaten atau kota lain dalam wilayah Propinsi Jawa Timur. Hal ini dapat dijalankan dengan ketentuan :
(a). Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya (membuat akta) di luar tempat kedudukkanya, maka Notaris tersebut harus berada di tempat akta akan dibuat. Contoh Notaris yang berkedudukan di Surabaya, akan membuat akta di Mojokerto, maka Notaris yang bersangkutan harus membuat dan menyelesaikan akta tersebut di Mojokerto.
(b). Pada akhir akta harus disebutkan tempat (kota atau kabupaten) pembuatan dan penyelesaian akta.
(c). Menjalankan tugas jabatan diluar tempat kedudukan Notaris dalam wilayah jabatan satu propinsi tidak merupakan suatu keteraturan atau tidak terus-menerus (Pasal 19 ayat (2) UUJN).Ketentuan tersebut dalam praktek memberikan peluang kepada Notaris untuk merambah dan melintasi batas tempat kedudukan dalam pembuatan akta, meskipun bukan suatu hal yang dilarang untuk dilakukan, karena yang dilarang menjalankan tugas jabatannya di luar wilayah jabatannya atau di luar propinsi (Pasal 17 huruf a UUJN), tapi untuk saling menghormati sesama Notaris di kabupaten atau kota lain lebih baik hal seperti itu untuk tidak dilakukan, berikan penjelasan kepada para pihak untuk membuat akta yang diinginkannya untuk datang menghadap Notaris di kabupaten atau kota yang bersangkutan. Dalam keadaan tertentu dapat saja dilakukan, jika di kabupaten atau kota tersebut tidak ada Notaris.Adanya ketentuan tersebut bagi Notaris yang mempunyai tempat kedudukan di kota atau kabupaten dan wilayah kerja propinsi, sebenarnya telah menutup peluang untuk mengambil alih kewenangan PPAT oleh Notaris, karena tempat kedudukan PPAT sesuai dengan tempat kedudukan Kantor Pertanahan Kota atau Kabupaten.
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Pejabat Umum – Notaris dan PPAT harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan sementara waktu. Notaris dan PPAT yang sedang cuti atau diberhentikan sementara waktu tidak mempunyai kewenangan untuk membuat akta. Khusus untuk Notaris, dalam Pasal 1 angka 2 UUJN dikenal adanya Pejabat Sementara Notaris, yaitu seseorang yang untuk sementara waktu menjabat sebagai Notaris untuk menjalankan jabatan Notaris yang meninggal dunia, diberhentikan, atau diberhentikan sementara. Ketentuan pasal ini rancu, bahwa seorang Notaris melaksanakan tugas jabatannya, karena masih ada wewenang yang melekat pada dirinya, dengan dengan karena masih ada wewenang, maka Notaris yang bersangkutan dapat mengangkat Notaris Pengganti (Pasal 1 angka 3 UUJN), sedangkan Notaris yang meninggal dunia, diberhentikan atau diberhentikan sementara waktu sudah tidak ada wewenang yang melekat pada dirinya, sehingga tidak perlua adanya Pejabat Sementara Notaris. Untuk Notaris yang meninggal dunia atau diberhentikan seharusnya protokol tersebut langsung diserahkan kepada Notaris lain untuk memegang protokolnya, dan untuk Notaris yang diberhentikan sementara, memang yang bersangkutan sedang tidak mempunyai kewenangan untuk sementara waktu, yang suatu saat dapat diangkat kembali yang sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (2) UUJN.
Berdasarkan uraian di atas, maka akta Pejabat Umum – Notaris telah memenuhi syarat sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 1868 BW, sehingga akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris sebagai akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sedangkan akta Pejabat Umum – PPAT tidak memenuhi syarat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1868 KUHPerdata, khususnya akta PPAT dibuat tidak berdasarkan Undang-undang, tapi hanya berupa aturan hukum setingkat Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri.
Dengan demikian akta PPAT bukan sebagai akta otentik, tapi hanya perjanjian biasa setingkat dengan akta dibawah tangan, dari segi fungsi hanya mempunyai pembuktian dengan kualifikasi sebagai surat di bawah tangan, yang penilaian pembuktiannya (jika bermasalah) diserahkan kepada hakim, jika hal tersebut diperiksa atau menjadi objek gugatan di pengadilan negeri. Alasan lain bahwa akta PPAT bukan akta otentik, karena para PPAT hanya mengisi formulir/blangko akta (to fill) yang telah disediakan oleh pihak lain, bukan membuat (to make) akta. Berdasarkan aturan hukum yang terakhir tersebut, telah membuka mata kita sebagai PPAT, ternyata secara kelembagaan, dalam hal ini PPAT dan akta PPAT belum mempunyai kedudukan hukum yang kuat, oleh karena itu, jika memang lembaga PPAT masih tetap dipertahankan sebagai bagian dari sistem hukum nasional, (artinya kewenangan PPAT tidak akan diambil alih oleh Notaris berdasarkan Pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN), maka untuk segera dibuat Undang-undang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.