Minggu, 26 Februari 2012

Para Nelayan Bangka Kian Menderita

Sungailiat  - Kehidupan para nelayan di pantai-pantai timur Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung, makin sulit sejak tambang-tambang timah apung dan kapal isap beroperasi di kawasan pantai tersebut.

Pendapatan mereka turun drastis karena tangkapan berkurang sedangkan biaya operasional membengkak karena mereka harus melaut semakin jauh. Kondisi ini dipicu oleh kerusakan di pesisir yang diduga karena limbah buangan kapal-kapal isap dan tambang-tambang apung tersebut.

Nelayan dari Desa Teluk Uber, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, Rosihan (48) menuturkan, pendapatan para nelayan di daerah itu turun hingga tinggal 30 persen selama beberapa tahun terakhir. Biasanya, mereka mampu memperoleh tangkapan rata-rata 7 kilogram (Kg) hingga 10 Kg ikan, namun kini hanya rata-rata 4 Kg ikan.     

"Beberapa kali kami malah rugi karena hasil tangkapan tak menutup modal untuk beli bensin dan bekal melaut," katanya di Pantai Tanjung Pesona, Kecamatan Sungailiat, Minggu (26/2/2012).

Para nelayan di daerah itu juga harus melaut lebih jauh untuk memperoleh tangkapan sehingga biaya perjalanan melaut kian membengkak. Sekitar tujuh tahun lalu, nelayan cukup melaut hingga 3-4 mil untuk mendapat tangkapan melimpah.

Namun kini mereka harus jauh ke tengah hingga 10 mil dengan tangkapan jauh lebih sedikit. Bensin yang dikeluarkan untuk melaut kini sekitar lima liter dari dulunya cukup tiga liter untuk sekali melaut.     

Menurut Rosihan, kawasan pesisir pantai timur Bangka saat ini kian keruh karena limbah buangan kapal-kapal isap dan tambang-tambang timah apung yang banyak beroperasi sekitar 1-2 mil di pesisir pantai itu. Akibatnya, ikan-ikan semakin menjauh ke tengah lautan.

Sejumlah komoditas laut pun kini semakin langka bahkan menghilang karena terumbu karang yang menjadi rumah mereka mati oleh timbunan limbah buangan tambang timah apung dan kapal isap. Penderitaan ini telah mereka rasakan sejak setidaknya tiga tahun terakhir.

Seperti terlihat, limbah berupa lumpur dan pasir itu terus-menerus disemburkan kapal isap dan tambang apung sehingga terumbu karang rusak. Padahal, terumbu karang tersebut merupakan rumah sejumlah biota laut dan tempat ikan bertelur.

Rusaknya terumbu karang ini diduga membuat ikan-ikan semakin ke tengah laut dan sejumlah komoditas laut menghilang. "Pihak tambang timah hanya memberi kompensasi Rp 300.000 tiap tiga bulan pada kami. Uang sejumlah itu buat apa? Tak menutup hilangnya pendapatan kami," kata Rosihan.     

Nelayan lainnya Akong (44) mengatakan udang yang biasanya banyak di pinggiran pantai sepanjang Juli-Agustus sudah dua tahun terakhir tak ada lagi. Tangkapan kepiting yang biasanya di bulan November-Desember pun tinggal separuhnya.

Padahal, udang dan kepiting merupakan sumber penghasilan para nelayan ketika mereka tak bisa melaut karena gelombang tinggi. Udang dan kepiting ditangkap dengan cara memasang jala di sepanjang garis pantai.

"Sudah lama jaring kepiting dan udang kami nganggur tak ada tangkapan," kata Akong. Bulan-bulan Juli-Agustus dan November-Desember kini benar-benar menjadi musim paceklik bagi para nelayan. Mereka harus berhutang bahan pokok hanya untuk bertahan hidup.

Ratusan nelayan di pantai timur Bangka biasanya mulai berangkat melaut sekitar pukul 04.00 subuh dan baru kembali pukul 13.00 siang. Mereka menangkap ikan dengan cara memancing dan menjualnya ke para pedagang yang telah menunggu tangkapan mereka di pantai. Kehidupan inilah yang telah mereka kenal dan geluti sejak kecil secara turun temurun.

Dulu, lautan adalah sumber penghidupan yang hanya selalu memberi. Kini, para nelayan itu turut merasakan derita yang tengah ditanggung oleh lautan mereka.[Kompas]


◄ Newer Post Older Post ►