Jumat, 14 Januari 2011

Menyingkap rahasia sidik Jari

Coba perhatikan apa yang dilakukan polisi ketika menemukan jenazah tidak dikenal. Pertama kali mereka akan mengambil sidik jari si mayat dan mencari sisa-sisa sidik jari yang kemungkinan menempel pada barang-barang di sekitarnya, bukan ? Saat gembong teroris Dr. Azahari yang tertembak di Malang beberapa tahun lalu, sebenarnya akan dilakukan cek DNA terhadap keluarganya. Tapi karena sidik jari saja sudah dianggap cukup, maka tes DNA tidak perlu dilakukan lagi. Memang teridentifikasi akurat bahwa teroris yang tertembak mati itu adalah Dr. Azahari.

Sidik jari menjadi alat utama identifikasi karena merupakan ciri unik yang selalu ada pada setiap individu. Dibandingkan garis tangan atau tulisan tangan yang bisa berubah-ubah sesuai kondisi psikologis seseorang, termasuk pola makan dan pola hidup, sidik jari dipercaya bersifat permanen. Artinya, tidak pernah berubah sedikit pun sepanjang hidup manusia, mulai dari bayi hingga tua renta.
Sebenarnya, sidik jari tidak hanya terdapat pada permukaan jari tangan. Tetapi juga pada telapak tangan dan kaki. Sidik jari terdiri atas sulur-sulur yang membentuk pola tertentu. Pola itulah, termasuk jumlah sulur pada tiap pola, yang menjadi bahan kajian. Namun, karena lokasinya lebih mudah dicapai, sidik jari pada jari tanganlah yang selalu lebih diperhatikan. Mula pertama sidik jari menjadi bagian dari kajian palmistri (ilmu garis tangan).

Gua prasejarah

Melihat sejumlah cap tangan di dalam gua-gua prasejarah, maka ditafsirkan bahwa minat manusia terhadap tangan sudah ada sejak zaman batu. Hal ini juga didukung oleh berbagai penemuan arkeologis berupa tangan-tangan yang dibuat dari batu, kayu dan gading, peninggalan berbagai peradaban kuno di banyak negara.
Kaisar-kaisar Cina diketahui menggunakan cap jempolnya untuk menyegel dokumen pada tahun 3000 SM. Bahkan informasi tentang aturan dan praktek pembacaan tangan telah ditemukan di dalam naskah Hindu, Injil, dan tulisan di masa awal Semitik. Selanjutnya Aristoteles (384-322 SM) menemukan sebuah risalah tentang palmistri di sebuah kuil tempat pemujaan dewa Hermes.
Dokter-dokter Yunani, Hipokrates dan Galen (130 SM-200) disebut-sebut banyak mengetahui sekaligus mempraktekkan seputar penggunaan palmistri sebagai bantuan pengobatan. Di Romawi saking percayanya pada palmistri, Kaisar Julius Caesar (102–44 SM) pernah memilih para menterinya dengan bantuan ahli palmistri.
Sayang, pada abad-abad pertengahan praktek palmistri ditekan oleh pihak gereja karena dipandang merupakan praktek pemujaan setan. Kehormatan palmistri kembali menanjak setelah Paracelsus (1493-1541) dan Fludd (1574-1637) banyak menuangkan gagasan lewat tulisan mereka.
Dr. Carl Carus, dokter untuk Raja Saxony di abad ke-19 mulai mencocokkan telapak tangan dengan kepribadian seseorang. Kemajuan dalam ilmu genetika, psikologi dan forensik berhasil mendorong palmistri ke dalam era modern dengan berkembangnya dermatoglyphics (derma = kulit dan glyphs = garis-garis yang terukir), yakni ilmu yang mempelajari kulit telapak tangan.
Menurut ilmu kedokteran, sidik jari dibentuk secara utuh dalam 16 minggu setelah pembentukan janin dari embrio. Setiap sidik jari tersusun atas 50 sampai 100 garis. Para peneliti menemukan epidermal ridge memiliki hubungan yang bersifat ilmiah dengan kode genetik dari sel otak dan potensi inteligensia seseorang.
Penelitian dimulai oleh Govard Bidloo pada 1685. Lalu, berturut-turut dilakukan oleh Marcello Malpighi (1686), J.C.A. Mayer (1788), John E. Purkinje (1823), Dr. Henry Faulds (1880), Francis Galton (1892), Harris Hawthorne Wilder (1897), dan Noel Jaquin (1958).
Beryl B. Hutchinson tahun 1967 menulis buku berjudul Your Life in Your Hands, sebuah buku tentang analisis tangan. Terakhir, hasil penelitian Beverly C. Jaegers (1974), mengemukakan bahwa sidik jari tercermin dalam karakteristik dan psikologi seseorang. Hasil penelitian mereka banyak dipuji pakar-pakar antropologi dan kesehatan.

Untuk penjahat

Pada tahun 1901 institusi kepolisian Inggris, Scotland Yard, mengadopsi teknik sidik jari ke dalam penyelidikan dan identifikasi para penjahat. Kala itu para peneliti medis yang mempelajari pola-pola kulit (dermatoglyphics), menemukan hubungan antara kelainan-kelainan genetik dan tanda-tanda tidak umum pada tangan.
Riset lain menetapkan adanya mata rantai antara pola sidik jari yang spesifik dan penyakit jantung. Dewasa ini palmistri telah diterima dengan baik di seluruh dunia, sebagai ‘pendeteksi penyakit’ dan sebagai ‘ramalan nasib’.
Lebih khusus kemudian muncul istilah daktiloskopi (dactyloscopy). Daktiloskopi berasal dari dua kata Yunani, yaitu dactylos (jari jemari atau garis jari) dan scopein (mengamati atau meneliti). Daktiloskopi inilah yang dikenal sebagai “Ilmu Sidik Jari”.
Tujuan daktiloskopi lebih dititikberatkan untuk keperluan personal identifikasi. Daktiloskopi berarti mengamati sidik jari, khususnya garis yang terdapat pada ruas ujung jari, baik tangan maupun kaki. Jadi, daktiloskopi berarti ilmu yang mempelajari sidik jari untuk keperluan pengenalan kembali atau untuk proses identifikasi orang.
*******
Tiga Macam Sidik Jari
Para pakar membagi sidik jari menjadi tiga macam, yaitu:
1. Visible impression (sidik jari yang dapat langsung dilihat tanpa menggunakan alat bantu).
2. Laten impression (sidik jari yang biasanya tidak dapat dilihat langsung tetapi harus menggunakan beberapa cara pengembangan terlebih dahulu supaya dapat nampak lebih jelas).
3. Plastic impression (sidik jari yang berbekas pada benda yang lunak seperti sabun, gemuk, permen, coklat).


Tiga Dalil Sidik Jari

Ada tiga dalil atau aksioma yang melandasi daktiloskopi, yaitu (1) sidik jari setiap orang tidak sama, (2) sidik jari manusia tidak berubah selama hidup, serta (3) sidik jari dapat dirumuskan dan diklasifikasikan secara matematis. Ketiga dalil itu dicetuskan oleh Sir Francis Galton (1822-1916) didasarkan pada hasil penelitian terhadap beribu-ribu sidik jari manusia.
*******
Sebuah penelitian mengungkap, ada tiga bentuk sidik jari yang dikenal secara luas, yaitu busur (arch), sangkutan atau lengkungan (loop), dan lingkaran (whorl). Bentuk pokok tersebut terbagi lagi menjadi beberapa sub-kelompok, antara lain plain arch, tented arch, ulnar loop, radial loop, plain whorl, central pocket loop whorl, double loop whorl, dan accidental whorl. Perbedaan utama dari ketiga bentuk pokok tersebut terletak pada keberadaan core dan delta pada lukisan sidik jarinya.
Arch adalah bentuk pokok sidik jari yang semua garis-garisnya datang dari satu sisi lukisan, mengalir atau cenderung mengalir ke sisi yang lain dari lukisan itu, dengan bergelombang naik di tengah-tengah.
Loop adalah bentuk pokok sidik jari dimana satu garis atau lebih datang dari satu sisi lukisan, melereng, menyentuh atau melintasi suatu garis bayangan yang ditarik antara delta dan core, berhenti atau cenderung berhenti ke arah sisi semula.
Whorl adalah bentuk pokok sidik jari, mempunyai dua delta dan sedikitnya satu garis melingkar di dalam pattern area, berjalan di depan kedua delta.

Mengetahui bakat

Berbagai penelitian ilmiah menyatakan pola sidik jari dan jumlah sulur sangat menentukan kecerdasaan seseorang. Artinya terdapat kaitan erat antara sidik jari dengan keberhasilan karier dan usaha seseorang. Diyakini, pengetahuan tentang sidik jari sejajar dengan pengetahuan lain yang memiliki landasan ilmiah kuat.
Sebagai pengetahuan, dermatogifli baru diakui pada 1892 berkat perjuangan ilmuwan Inggris Sir Francis Galton. Ilmuwan Inggris Sir Henry Faulds adalah orang pertama yang menemukan sidik jari sebagai tanda pengenal diri pada 1880. Di Eropa sejak 1936 ilmu ini sudah dipakai untuk menentukan penyakit Down Syndrome atau Mongolism. Kini sidik jari banyak digunakan untuk mengetahui bakat dan potensi yang dimiliki seorang anak sejak dini. Metodenya disebut fingerprint test.
Tes dilakukan dengan pemindaian dan merekam gambar sidik jari, kemudian hasilnya dianalisis. Secara garis besar jari kelingking menggambarkan penglihatan; jari manis untuk pendengaran; jari tengah berhubungan dengan sentuhan, keseimbangan, pergerakan, serta koordinasi tangan dan kaki; jari telunjuk untuk proses informasi – tangan kiri untuk logika, tangan kanan untuk pikiran; dan ibu jari untuk berpikir serta membuat keputusan.
Hasil analisis biasanya menunjukkan bahwa pada anak terdapat tiga model gaya belajar. Pertama, visual, lebih cenderung belajar dengan menggunakan indera penglihatan. Mereka lebih mudah menyerap informasi secara visual, baik data teks seperti tulisan dan huruf, maupun data gambar seperti foto atau diagram. Mereka pun lebih mudah mengingat dengan melihat. Singkatnya adalah lebih suka membaca, lebih mudah menangkap pelajaran lewat materi bergambar, memiliki kepekaan kuat terhadap warna, tertarik pada seni lukis, pahat, dan gambar, daripada musik, serta mudah menghafal tempat dan lokasi
Selain itu ada auditory yang menggunakan indera pendengaran. Anak-anak lebih cepat menyerap data berupa bahasa atau nada. Ciri-cirinya adalah mudah ingat dari apa yang didengar atau dibicarakan dengan teman-teman atau lingkungannya, senang dibacakan atau mendengar cerita dibanding membaca cerita sendiri, suka menuliskan kembali sesuatu, senang membaca dengan suara keras, pandai bercerita, bisa mengulangi apa yang didengarnya, baik nada atau irama, lebih suka humor lisan dibandingkan humor tulisan, senang diskusi, bicara, bertanya, atau menjelaskan sesuatu dengan panjang, serta mudah mempelajari bahasa asing
Terakhir, model belajar kinestetik. Mereka lebih cenderung belajar dengan gerakan dan sentuhan. Misalnya gemar menyentuh segala sesuatu yang dijumpainya, suka mengerjakan sesuatu yang memungkinkan tangannya sangat aktif, suka menggunakan objek nyata sebagai alat bantu belajar, banyak melakukan gerakan fisik, ketika membaca menunjuk kata-kata dalam bacaan dengan jari tangannya, serta lebih suka mendemonstrasikan sesuatu dengan peragaan atau gerakan daripada menjelaskan.
Memang fingerprint test jauh lebih akurat daripada tes IQ dan sejenisnya. Namun karena merupakan ‘barang baru’, biaya tes ini masih mahal.

Bagaimana dengan karakter?

Sejak lama kepribadian atau karakter seseorang bisa dilihat lewat sidik jari. Selain merupakan pengetahuan kuno yang dianalisis oleh ahli-ahli palmistri dari Timur, melihat kepribadian lewat sidik jari juga merupakan pengetahuan yang bersifat empiris ilmiah. Banyak sarjana Barat meneliti hal ini.
Secara umum kepribadian orang bisa dilihat dari bentuk sidik jari.
Bentuk loop menyiratkan orang yang fleksibel, mampu menyesuaikan diri, menyukai berbagai kegiatan, membutuhkan kehidupan yang aktif dan sibuk dengan banyak tantangan, bisa bekerja sama dengan orang lain, serta menyukai bisnis di bidang komunikasi dan media.
Bentuk whorl mengemukakan orang yang agak kaku, tipe pendiam dan pemikir, sukar menyesuaikan diri, sering berubah pikiran bila memutuskan sesuatu, lebih suka bekerja sendiri, dan tipe sosok yang sangat kuat.
Bentuk arch menunjukkan orang yang praktis, teguh, berkepala dingin, sukar mengutarakan perasaan yang terdalamnya, materialistis, dan bersahaja.
Bentuk sidik jari pada seseorang selalu terdiri atas lebih dari satu tipe. Kombinasinya memiliki bermiliar kemungkinan. Jadi sebanyak itu pula jenis kepribadian manusia. Analisis kepribadian mempertimbangkan pula pada jari-jari mana tipe whorl, loop, atau arch berada.
Boleh percaya dan boleh tidak percaya, menurut hasil penelitian terungkap bahwa pada kelompok sarjana dan doktor, mereka yang berjari whorl dan loop lebih banyak dibandingkan dengan nonsarjana. Sebaliknya, frekuensi arch lebih kecil pada sarjana dan doktor. Perbedaan yang paling mencolok tampak pada jumlah sulur di sepuluh jari tangan. Pada kelompok nonsarjana, jumlah sulurnya rata-rata 130, pada sarjana 144, dan doktor 151.
Terlihat semakin tinggi strata pendidikan formalnya, jumlah sulur semakin banyak. Lantas, bagaimana pula dengan pola dan jumlah sulur pada jari tangan nonsarjana tapi hampir jadi sarjana, katakanlah mahasiswa yang sedang menyusun skripsi? Menurut kesimpulan Ratu Siti Rafiah, dosen FMIPA UI dalam disertasinya tahun 1990 lalu, banyak sidik jari mahasiswa mendekati pola sarjana dan doktor. Ya, setidaknya, mereka calon sarjana atau calon doktor.
(Majalah Intisari, Agustus 2010)
◄ Newer Post Older Post ►