Rabu, 03 Oktober 2012

Sidik Jari dan Biometrik Dalam Al-Quran

Dalam bahasa Inggris, sidik jari disebut Finger Print; biasanya berbentuk garis-garis horizontal dan vertikal atau gabungan keduanya dan juga ada bentuk lengkungan-lengkungannya. Seluruh manusia di dunia diciptakan dengan sidik jari yang berbeda, satu sama lainnya. Tak ada sidik jari yang identik di dunia ini, sekalipun di antara dua saudara kembar. Dalam dunia sains pernah dikemukakan, jika ada 5 juta orang di bumi, kemungkinan munculnya dua sidik jari manusia yang sama baru akan terjadi lagi 300 tahun kemudian.


Proses identifikasi manusia masih sulit dilakukan sebelum ditemukannya tanda pengenal pada sidik jari. Sejak itu, muncul ilmu Daktiloskopi, yang khusus mempelajari sidik jari. Namun, sejatinya, sejak lama Islam melalui al-Qur’an telah menjelaskan dan merumuskan teori tersebut (biometrik).

Pengakuan adanya keunikan sidik jari mulai diperkenalkan oleh ahli anatomi Jerman bernama Johann Christoph Andreas Mayer (1747-1801) pada tahun 1788. Menurutnya, setiap sidik jari manusia itu memiliki keunikan sendiri-sendiri. Hal serupa juga dikemukakan oleh Sir William James Herschel (1833-1918) pada tahun 1858. Namun, pada saat itu, sidik jari belum dipakai sebagai teori ilmiah (saintis) untuk dijadikan sebagai tanda pengenal seseorang.


Sidik jari mulai diteliti secara ilmiah dan akhirnya dijadikan sebagai tanda pembeda identitas adalah ketika Sir Francis Golt secara khusus melakukan riset tentang ini pada tahun 1880. Setelah melakukan risetnya, dia mengatakan bahwa tidak ada dua orang manusia di dunia ini yang memiliki bentuk sidik jari yang benar-benar sama.

Pada perkembangannya, muncullah berbagai alat teknologi sidik jari dengan sistem analisa elektronik. Alat ini pertama kali digunakan Federal Bureau Investigation (atau populer dengan sebutan FBI) di Amerika Serikat sekitar akhir abad ke-19 atau tahun 60-an. FBI menggunakannya untuk mengetahui jati diri korban atau bahkan tersangkanya lewat jejak sidik jari yang biasanya tertinggal dalam tempat kejadian.

Setelah itu, sidik jari tidak saja digunakan sebagai alat untuk mengungkap kriminalitas, tapi juga mulai memasuki ranah yang lain, seperti untuk mesin absensi, teknologi akses kontrol pintu, finger print data secure, aplikasi retail, sistem payment dan masih banyak lagi.

Seiring dengan itu, muncullah disiplin ilmu yang mempelajari sidik jari, yaitu Daktiloskopi. Yakni ilmu yang mempelajari sidik jari untuk keperluan pengenalan kembali identitas orang dengan cara mengamati garis yang terdapat pada guratan garis jari tangan dan telapak kaki. Daktiloskopi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dactylos yang berarti jari jemari atau garis jari, dan scopein yang artinya mengamati atau meneliti. Kemudian dari pengertian itu timbul istilah dalam bahasa Inggris, dactyloscopy yang kita kenal menjadi ilmu sidik jari.

Pertanyaannya: mengapa sidik jari memiliki peran yang demikian signifikan untuk “pembeda identitas”? Karena sidik jari memiliki beberapa sifat dan karakteristik. Pertama, parennial nature,  yaitu adanya guratan-guratan pada sidik jari yang melekat pada manusia yang bersifat seumur hidup. Karena itu, pola sidik jari relatif mudah diklasifikasikan. Dalam sidik jari, ada pola-pola yang dapat diklasifikasikan sehingga untuk berbagai keperluan, misalnya pengukuran, mudah dilakukan.

Kedua, immutability, yang berarti bahwa sidik jari seseorang tak akan pernah berubah. Sidik jari bersifat permanen, tidak pernah berubah sepanjang hayat. Sejak lahir, dewasa, hingga akhir hayat, pola sidik jari seseorang bersifat tetap kecuali sebuah kondisi yaitu terjadi kecelakaan yang serius sehingga mengubah pola sidik jari yang ada.  Hal ini berbeda dengan anggota tubuh lain yang senantiasa berubah, seperti bentuk wajah yang berubah seiring usia.

Ketiga, individuality, yang berarti keunikan sidik jari merupakan originalitas pemiliknya yang tak mungkin sama dengan siapapun di muka bumi ini sekali pun pada seorang yang kembar identik. Dengan kata lain, sidik jari bersifat spesifik untuk setiap orang. Kemungkinan pola sidik jari sama adalah 1:64.000.000.000, jadi tentunya hampir mustahil ditemukan pola sidik jari sama antara dua orang. Pola sidik jari di setiap tangan seseorang juga akan berbeda-beda. Pola sidik jari di ibu jari akan berbeda dengan pola sidik jari di telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking.

Dengan tiga sifat dan karakter di atas, maka pantas jika sidik jari dijadikan sebagai alat pembeda identitas. Dan selama ini, cara ini sangat ampuh dalam mengungkap berbagai kriminalitas di berbagai belahan dunia dan berbagai kebutuhan lainnya.

Namun, tahukah Anda, jauh hari sebelum teori-teori modern tentang sidik jari itu bermunculan (biometrik), sesungguhnya al-Qur’an telah mengupasnya. Al-Qur’an telah memperhatikan sidik jari sebagai sesuatu yang sangat vital dalam anggota tubuh kita. Allah berfirman,  "Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? Ya, bahkan Kami mampu menyusun (kembali) ujung jari-jarinya dengan sempurna." (QS. Al-Qiyamah [75]:3-4)

Menurut Harun Yahya dalam Pesona Al-Qur’an ketika menjelaskan ayat di atas menulis bahwa penekanan pada sidik jari memiliki makna sangat khusus. Ini dikarenakan sidik jari setiap orang adalah khas bagi dirinya sendiri. Setiap orang yang hidup atau pernah hidup di dunia ini memiliki serangkaian sidik jari yang unik dan berbeda dari orang lain. Itulah mengapa sidik jari dipakai sebagai kartu identitas yang sangat penting bagi pemiliknya dan digunakan untuk tujuan ini di seluruh penjuru dunia.

Harun Yahya melanjutkan, sistem pengkodean lewat sidik jari ini dapat disamakan dengan sistem kode garis (barcode) sebagaimana yang digunakan saat ini. Akan tetapi, ujarnya, yang penting adalah bahwa keunikan sidik jari ini baru ditemukan di akhir abad ke-19. Sebelumnya, orang menghargai sidik jari sebagai lengkungan-lengkungan biasa tanpa makna khusus. Namun, dalam al-Qur'an, Allah merujuk kepada sidik jari, yang sedikitpun tak menarik perhatian orang waktu itu, dan mengarahkan perhatian kita pada arti penting sidik jari yang baru mampu dipahami di zaman sekarang.

Dan jauh hari sebelum Sir Francis Golt mengemukakan secara ilmiah tentang sidik jari, dokter Persia yang bernama Rashid al-Din Hamadani (1247-1318) sebenarnya pernah menulis dalam Tawarikh, kalau pengalaman menunjukkan bahwa tidak ada dua individu yang memiliki jari persis sama.

Namun, para penentang kebenaran al-Qur’an selalu saja mencari celah. Dikatakan, bahwa konsep sidik jari sebenarnya sudah diperkenalkan sejak dulu sebelum Islam lahir. Di China, pada abad ketiga SM, sidik jari sudah dijadikan sebagai bukti otentikasi pinjaman. Konon, pedagang Muslim Arab bernama Abu Zaid Hasan, saat berkunjung ke China sebelum 851 CE, menyaksikan pedagang China menggunakan sidik jari untuk otentikasi pinjaman. Pada 650 CE, sejarawan China yang bernama Kia Kung-Yen mengatakan bahwa sidik jari dapat digunakan sebagai alat otentikasi.

Terlepas dari adanya data terakhir ini, yang jelas, bagi kita sebagai umat Islam sangat bangga dengan adanya kitab suci bernama al-Qur’an. Sejak 14 abad yang lalu, al-Qur’an selalu otentik dipergunakan. Informasi-informasi ilmiah yang diberikannya selalu teruji sampai kapanpun, yang saat itu belum disadari sama sekali oleh orang. Dengan kata lain, al-Qur’an adalah bukti tertulis yang paling otentik yang bisa dijadikan sebagai rujukan ilmiah dalam mengupas persoalan-persoalan teknologi zaman sekarang. Sedangkan bukti-bukti lain terkadang aus terkikis zaman atau hilang dan terbakar.



Sumber : http://zilzaal.blogspot.com/2012/09/sidik-jari-dan-biometrik-dalam-al-quran.html
◄ Newer Post Older Post ►