Kamis, 26 April 2012

Ubi Kayu Menguntungkan Petani

Ubi Kayu Menguntungkan Petani


sumber : Medan Bisnis

Biaya produksi atau modal sedikit, cara pengelolaan yang gampang dan dapat menghasilkan untung besar, memang menjadi tujuan setiap orang dalam menjalankan usaha. Bukan hal yang mustahil untuk mencapai kesuksesan dengan cara tersebut, karena hanya dengan menanam ubi kayu yang dapat tumbuh dengan gampangnya dan di mana saja, bisa mendapatkan keuntungan sekitar Rp 15 juta per hektare dalam sekali panen atau berkisar 7 hingga 8 bulan.
Siapa yang tidak kenal dengan komoditas ubi kayu? Selain tumbuhan yang gampang ditanam, ubi juga pernah merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia sebelum merdeka. Kini dengan perkembangan zaman, ubi bukan hanya termasuk makanan tradisonal, namun dapat dikelolah menjadi berbagai macam pilihan makanan ringan seperti tela-tela, keripik, getuk, gatot, gamplek, kue-kue basah, tepung tapioka, dan beberapa produk kimia seperti alkohol, gula cair (maltosa, glukosa, fruktosa), sorbitol, siklodekstrin, asam sitrat serta juga jadi bahan tambahan makanan ternak.

Sarmin mungkin salah satu dari sekian petani yang mengembangkan tanaman ubi kayu di Indonesia. Gampang dan menguntungkan, menjadi alasan bapak berusia 68 tahun ini menanam ubi kayu dilahan nya yang berukuran 2 hektare di wilayah Pasar IV Garmonia Jalan Kelambir Lima Kabupaten Deliserdang.

"Menanam ubi itu gampang, diletak di mana saja batangnya bisa tumbuh. Bahkan lahan bapak ini tidak perlu pakai pupuk karena memang masih subur. Sedangkan permintaan ubi kayu selalu ada," ujarnya kepada MedanBisnis.

Untuk tanaman ubi kayu, diakui Sarmin yang masih terlihat segar bugar ini, baru dikembangkannya dalam setahun belakangan atau sekitar Maret 2009 lalu. Bibit yang digunakannya masih berasal dari bibit lokal dengan hasil produksi mencapai 25 ton per hektare.

Pemasaran ubi, ia yang juga dibantu istri dan tiga orang anaknya ini tidak perlu repot-repot karena agen selalu siap menampung ubi yang dihasilkannya, dengan harga Rp 600 perkg. Bahkan, gudang tempat penyimpanan  panen ubi telah tersedia, sehingga petani yang menanam ubi kayu disekitar lahan kebun PTPN2 Helvet tersebut dapat mengumpulkan hasilnya sebelum para agen datang untuk membeli.

Jenis ubi kayu yang ditanamnya pun bermacam-macam, yakni ubi Berastagi atau sering disebut oleh masyarakat sekitar ubi nyonya. Ubi memiliki kulit putih dan biasa dijadikan kripik karena daging ubi sangat lembut. Selain itu juga ada ubi roti untuk direbus karena sangat lembut serta ubi mentega yang berwarna kuning dan biasa dikelolah untuk opak.

"Semua bibit masih dari sini, ada rencana mau ambil dari Lampung karena disana kan memang daerah yang paling besar di Indonesia. Menurut info, bibit nya dapat menghasilkan 100 ton per hektare," jelas Sarmin.

Sambil mencabut satu batang pohon ubi dan memperlihatkan umbi yang rata-rata berukuran besar, Sarmin mengakui, biaya produksi yang dikeluarkannya dalam sekali masa tanam hingga panen hanya berkisar Rp 2 juta untuk pengolahan lahan dan membersihkan rumput di sekitar tanaman. Sedangkan keuntungan yang diperolehnya bisa mencapai Rp 15 juta per hektare dengan waktu tujuh hingga delapan bulan saja.

"Masa panen tumbuhan ubi mencapai 7 atau 8 bulan. Atau dalam dua tahun, bisa tiga kali panen. Apalagi, kalau tanaman diberi pupuk dan memakai bibit unggulan, produksi akan bertambah dan keuntungan bisa diatas itu," ungkapnya dengan senyum.

Untuk keuntungan yang diperoleh dari tanaman ubi kayu ini, Sarmin menggunakannya membeli lahan baru untuk mengembangkan tanaman hortikultura.

Bahkan, kini ia sudah memiiliki lahan seluas delapan hektare yang ditanaminya berbagai komoditas dari ubi kayu, jagung, kelapa sawit dan pepaya Taiwan. Sarmin juaga berencana, keuntungan dari tanaman ubi kayu nya yang akan panen di Juli atau Agustus nanti, akan membeli lahan di daerah Dumai, Pekanbaru untuk ditanami kelapa sawit.

"Menjadi petani itu harus pintar-pintar memilih komoditas yang mau ditanam. Kalau ubi kayu, masih sangat menjanjikan karena sekarang sudah sulit mendapatkan ubi kayu. Apalagi pabrik pengelolahannya sudah banyak, jadi tanaman ini bisa menjadi alternatif untuk mendapatkan keuntungan," tutur Sarmin dengan raut wajah serius.

Menurutnya, tanaman yang sudah panen, sebatang pohon ubi kayu yang panjangnya berkisar 1,5 hingga 2 meter ini, masih bisa ditatam lagi dengan ukuran potongan masing-masing 20 centimeter atau sekitar 20 batang perpohon. Jadi, selain tidak memerlukan biaya lagi untuk membeli bibit baru, batang ubi kayu sebelumnya bisa langsung ditanami baru lagi dengan ukuran jarak 60 cm x 80 cm.

Dari tanaman ubi kayu yang dikembangkannya, Sarmin bukan hanya mengharapkan umbi nya saja untuk dipasarkan tapi juga menjual daun ubi. Dalam seharinya, 150 ikat daun ubi dijual di Pasar Kampung Lalang Medan dengan harga tolak pada pedagang sekitar Rp 60 perikat nya. Khusus untuk menghasilkan daun ubi ini ia memanfaatkan lahan satu hektare miliknya.

"Batang ubi yang kita tanam dalam sebulan saja sudah bisa menghasilkan daun ubi yang yang bisa dipetik. Pemasarannya pun sangat bagus, meski harga nya masih sangat murah," jelas Sarmin.

Selain ubi dan daun nya, Sarmin juga mengelolah pembuatan gaplek yang dijualnya dengan harga Rp 2.100 perkg di daerah Tanjung Morawa. Gaplek itu, katanya, ubi kayu yang sudah dipotong-potong dengan ukuran kasar dan kemudian dikeringkan dalam waktu dua hari atau tergantung dengan cuaca. Ubi yang telah dikeringkan ini bisa dijual langsung ke pabrik pakan ternak atau juga ke pabrik pembuatan tepung tapioka.

"Industri pengelolahannya tersedia, tanaman ubi kayu masih sangat menguntungkan," tuturnya. (yuni naibaho)
◄ Newer Post Older Post ►