Sabtu, 28 April 2012

Implementasi Asas Bebas Kontrak dalam Leasing

(Analisis Kasus Sengketa Kontrak Leasing)

Oleh: Muyassarotussolichah*

Abstrak

Azas kebebasan berkontrak tercermin dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”. Implementasi azas ini dalam perjanjian leasing harus didukung oleh azas-azas yang lain dalam perjanjian. Diantaranya adalah azas iktikad baik yang menekankan pada norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jika azas tersebut diterapkan, maka kesewenang-wenangan terutama dari pihak lessor yang dengan mudah dapat memaksa pihak lesse yang melanggar kewajiban untuk melaksanakan kewajibannya dapat diminimalisir dengan mengkaji dan mempertimbangkan alasan--alasan yang mendasari terjadinya pelanggaran terhadap suatu perjanjian yang telah disepakati.

A. Pendahuluan

Perkembangan masyarakat dapat dilihat pada perkembangan lembaga yang ada pada masyarakat tersebut, baik di bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik. Sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan Nasional, peran serta pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan akan semakin ditingkatkan. Keadaan tersebut baik langsung atau tidak langsung akan menuntut lebih efektifnya kegiatan dibidang pembiayaan. Berbagai upaya dalam menghimpun dana masyarakat telah dilakukan melalui penetapan kebijaksanaan pemerintah, karena pada hakekatnya perluasan usaha memang membutuhkan pembiayaan dana dan peralatan. 

Leasing (Kegiatan Sewa Guna Usaha), salah satu lembaga alternatif pembiayaan di luar bank yang relatif baru, dewasa ini memainkan peranan yang penting dalam perkembangan ekonomi. Aturan kegiatan leasing terdapat dalam Keppres No. 66 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan dan Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/ KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing). 

Ditinjau dari sudut ekonomi leasing merupakan suatu kegiatan perekonomian yaitu pembiayaan perusahaan, sedang dari sudut hukum yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) menurut ketentuan umum tentang perikatan, leasing merupakan suatu perjanjian untuk pembiayaan atau untuk pengadaan barang-barang modal yang diperlukan oleh suatu perusahaan.

Oleh karena maksud dari leasing itu adalah sebagai pembiayaan perusahaan, maka dengan dibuatnya perjanjian dimaksudkan untuk melindungi para pihak yang terlibat dalan kegiatan leasing. Sumber dari perjanjian antara kedua belah pihak didasarkan pada Pasal 1233 KUH Per. 

Selain itu, sebagaimana diketahui bahwa hukum perdata Indonesia khususnya menganut sistem terbuka open system bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada para pihak yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian apa saja asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Sendi ini terkenal dengan nama azas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam pasal 1338 KUH Per.

Azas kebebasan berkontrak dalam praktek leasing seringkali dilanggar oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian terutama pihak supplier sebagai (vendor /leveransir). Hal ini dapat dilihat pada kasus sengketa kontrak leasing antara PT. Pamor Cipta Inti Leasing sebagai Lessor dengan CV. Graffel Offset sebagai Lessee dan juga PT. Baginda Putra sebagai Supplier.

Dari uraian di atas dapat diangkat thesis sebagai berikut yaitu:

Dengan adanya kesepakatan para pihak dalam suatu perjanjian leasing, yang selanjutnya perjanjian tersebut diberlakukan sebagai undang-undang, ternyata belum menjamin perlindungan hukum bagi para pihak, khususnya bagi Lessor yang berada pada posisi bargaining power yang lemah. 

Dengan demikian, meskipun azas kebebasan berkontrak mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuat perjanjian, akan tetapi dalam pelaksanaanya bukan berarti tidak terbatas, yaitu terbatas.

Hal yang menarik untuk dibahas lebih lanjut adalah bagaimanakah implementasi azas kebebasan berkontrak dalam perjanjian leasing yang dibuat antara para pihak, dan bagaimanakah perlindungan hukumnya. 

B. Pengertian Perjanjian dan Azas-azas Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian
Dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan yaitu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 

Or as agreement made between two or more persons which is enforceable at law. 

Mengikatkan diri berarti ada suatu yang akan dicapai oleh pihak-pihak untuk terwujudnya suatu perjanjian, maka dari itu dalam perjanjian harus ada obyek yang jelas dari apa yang diperjanjikan.

Sudikno Mertokusumo mendefinisikan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. 

Selanjutnya Subekti memdefinisikan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana kedua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 

Atiyah mengambil dari The American Restatement of Contract, mendefinisikan kontrak sebagai berikut:

A contract is promise or a set promises for the breach of which the law gives remedy, or the performance of which the law in some way recognises a duty. 

Dari beberapa rumusan perjanjian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perjanjian mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: yaitu adanya dua pihak atau lebih, adanya persetujuan antara para pihak, adanya tujuan yang akan dicapai, ada prestasi yang akan dilaksanakan, ada bentuk tertentu yaitu lisan atau tulisan.

Menurut Pasal 1320 KUHPer bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan adanya 4 (empat) syarat sebagai berikut :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian,
c. Mengenai suatu hal tertentu,
d. Suatu sebab yang halal.

Keempat syarat-syarat sahnya perjanjian seperti tersebut diatas, oleh Subekti digolongkan kedalam dua bagian, yakni syarat subyektif dan syarat obyektif. Yang termasuk kedalam syarat subyektif adalah sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan cakap untuk membuat suatu perjanjian. Disebut syarat subyektif karena kedua syarat tersebut berkaitan dengan orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian.

Sedangkan yang termasuk kedalam syarat obyektif adalah mengenai suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Disebut syarat obyektif karena menyangkut tentang perjanjiannya sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

2. Azas-azas Perjanjian

Hukum perjanjian mempunyai azas-azas umum/principle yang harus ditaati oleh para pihak yang terlibat didalamnya, yaitu pihak-pihak dalam perjanjian itu sendiri, pihak ketiga, para pelaksana atau aparat penegak hukum termasuk para hakim yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang berhubungan dengan perjanjian.

Adapun azas-azas yang harus diperhatikan dalam membuat suatu perjanjian adalah sebagai berikut :

a. Azas Kebebasan Berkontrak
Yang dimaksud azas kebebasan berkontrak adalah bahwa orang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian dengan siapapun, dengan bentuk dan isi apapun serta bebas untuk menentukan hukum mana yang akan dipilih dalam menyelesaikan perjanjian tersebut.

Dalam hukum Anglo-Amerika azas tersebut dikenal dengan nama party autonomy or freedom of contract. 

b. Azas Konsensualisme

Suatu perjanjian terjadi sejak tercapainya konsensus atau kesepakatan kedua belah pihak atau mereka yang membuat perjanjian. Atau suatu perjanjian telah dianggap sah dalam arti sudah mengikat apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.

c. Azas Pacta Sunt Servanda

Merupakan azas dalam perjanjian yang berhubungan dengan mengikatnya perjanjian. Yaitu bahwa semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak, asalkan memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka mengikat sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya, Pasal 1338 KUH Perdata.

Azas tersebut dijumpai dalam Civil Law Systems, bay its Latin name: pacta sunervanda (sanctity of contract). Yang berarti; "absent extraordinary circumstance, the parties must perform as agreed even if performance becomes uncomfortable or inconvenient". 

d. Azas Iktikad Baik

Semua perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak harus dilaksanakan dengan iktikad baik (tegoeder trouw), yakni harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.

Azas Iktikad baik ini dapat dibedakan antara iktikad baik yang subyektif dan itikad baik yang obyektif. Iktikad baik yang subyektif diartikan sebagai kejujuran seseorang berarti dalam hati, sikap batin seseorang pada waktu melaksanakan perjanjian. Sedangkan itikad baik yang obyektif mempunyai pengertian bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan sesuai dengan apa yang patut dalam masyarakat. 

Wirjono Prodjodikoro, dalam Purwakhid Patrik mengemukakan bahwa azas iktikad baik berbeda dengan kepatutan, iktikad baik pada hakekatnya terletak dalam diri orang yang bersangkutan, dan merupakan unsur subyektif. Sedangkan kepatutan merupakan unsur obyektif yang pada pokoknya tergantung dari keadaan perjanjian.
3. Wanprestasi
Sebagaimana diketahui bahwa suatu perjanjian adalah merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lainnya atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksankan sesuatu.

Apabila karena suatu kesalahan pihak yang berjanji atau pihak yang wajib berprestasi tidak melakukan prestasi, maka pihak tersebut dikatakan wanprestasi atau ingkar janji. Subekti menyebut bentuk wanprestasi sebagai berkut: 

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan,
b. Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagai mana yang diperjanjikan,
c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat,
d. Melakukan sesuatu yang meurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Apabila terjadi wanprestasi (breach of contract), menurut Wiliiam ada dua kemungkinan:

a. kontrak (perjanjian) tetap ditegakkan sebagaimana yang tertulis dalam kontrak (perjanjian) tersebut (to be performed as written)
b. keharusan untuk dimaafkan (should be excused)

Untuk menyatakan pihak yang berjanji (debitur) sebagai pihak yang wanprestasi diperlukan somasi-somasi, hingga pada akhirnya ditindaklanjuti secara hukum. Kalau ditemukan alasan-alasan yang tepat yang sesuai dengan iktikad baik dan kepatutan, tentunya dimungkinkan untuk dimaafkan dengan konpensasi (remedy).
C. Implementasi Azas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian

Leasing Dan Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak

1. Pengertian Leasing

Secara umum leasing artinya equipment funding, yaitu pembiayaan peralatan/barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak. 

Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian No. KEP.122/MK/IV/2/1974. No.32/M/SK/2/1974, dan No.30 /Kpb/I/1974 tertanggal 7 Pebruari 1974, tentang Perizinan Usaha Leasing, menyebutkan bahwa leasing itu adalah: 

"Setiap kegiatan pembiayaan perusahan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala, disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama."
Equipment Leasing Association memberikan definisi sebagai berikut:

"Suatu perjanjian kontrak antara Lesor dan Lesse untuk penyewaan suatu jenis barang (asset) tertentu langsung dari pabrik atau agen penjual oleh Lesse. Hak pemilikan atas barang tersebut tetap ada pada lessor. Lesse mempunyai hak pakai atas barang tersebut dengan membayar sewa dengan jumlah dan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. 

The International Accounting Standart mendefinisikan leasing sebagai berikut:

"Suatu perjanjian di mana lessor menyediakan barang (asset) dengan hak penggunaan oleh lesse dengan imbalan pembayaran sewa untuk jangka waktu tertentu. 

International convention on leasing (A Convention on International Financial Leasing, agreed in 1988 in Ottawa), memuat aturan dalam transaksi leasing sebagai berikut: The Convention contains rules for financial leasing transaction which imply that:

a. the lessee specifies the equipment and select the suplier without reling primarily on the skill and judgment of the lessor;
b. the equipment is acquired by the lessor in connection with a leasing agreement which, to the knoledge of the suplier, either has been made or is to be made between the lessor and the lesse; and
c. the rental payable under the leasing agreement are calculated so as to take into account the amortisation of the whole or a substansial part of the equipment. 

Leasing juga dedifinisikan:

"Pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyedian barang-barang modal dengan pembayaran secara berkala oleh perusahaan yang menggunakan barang-barang modal tersebut, dan dapat membeli atau memperpanjang jangka waktu berdasarkan nilai sisa." 

Dari definisi-definisi di atas, dapat disebutkan bahwa leasing merupakan kontrak (perjanjian) antara para pihak, pihak pertama sebagai lessor yang memberikan barang tertentu, pihak kedua sebagai lesse yang meggunakan barang dari lessor dengan pembayaran sewa tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Pihak lain yang dimungkinkan adalah perantara antara lessor dan lesse yang biasa disebut dengan suplier (agen penjual).

Dengan kata lain, ada beberapa pihak yang terlibat dalam perjanjian leasing, yaitu:

a. lessor adalah perusahaan leasing atau dalah hal ini adalah pihak yang memiliki kepemilikan atas barang;
b. lessee adalah perusahaan atau pihak pemakai barang yang bisa memiliki hak opsi pada akhir perjanjian;
c. supplier adalah pihak penjual barang yang dileasekan (disewagunausahakan). 

Selanjutnya, dapat disebutkan bahwa pengertian leasing terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:

a. Pembiayaan Perusahaan
b. Penyediaan barang-barang modal
c. Jangka waktu tertentu
d. Pembayaran secara berkala
e. Adanya hak pilih (optie)
f. Adanya nilai sisa yang disepakati bersama.

2. Bentuk Perjanjian Leasing

Dalam pengumuman Direktur Jendral Moneter No.Peng 307/DJM/III.1/7.1974 tanggal 8 Juli 1974, ruas 8.2. yang menyebutkan bahwa untuk kepentingan pengawasan dan pembinaan, para pengusaha leasing diharuskan menyampaikan kepada Direktur Jenderal Moneter. Departemen Keuangan, antara lain "copy kontrak leasing, dan sebagaiya", dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian leasing harus dibuat secara tertulis. Akan tetapi tidak ditentukan atau diwajibkan apakah perjanjian leasing harus berbentuk Akta Otentik/Akta Notaris atau Akta di Bawah Tangan. Jadi terserah pada pihak-pihak yang bersangkutan untuk menentukan apakah akan membuat perjanjian itu dengan Akta Notaris atau tidak. 

Namun ditinjau dari sudut hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia, pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa bukti yang paling kuat adalah bukti dalam bentuk akta otentik.

Pasal 1870 KUHPerdata menentukan bahwa :

"Suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya."

Dengan demikian, untuk lebih memberikan kepastian hukum para pihak yang terlibat dalam kontrak (perjanjian) lesing hendaklah dalam kontrak (perjanjian) dibuat secara tertulis dengan akte notaris.

3. Isi dan Jenis Perjanjian Leasing 

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai isi dari suatu kontrak, antara lain dapat dilihat dalam kontrak internasional, yaitu terdiri dari: 

a. an agreement (an offer and an acceptance of the offer)
b. voluntarily entered into
c. by parties having capacity to contract
d. supported bay consideration (with some exceptions)
e. to do a legal act or acts 

J.r.,William F. Fox., juga menyebutkan, paling tidak dalam suatu kontrak memuat: 

a. formation of subject matter
b. performance
c. breach
d. remedy
d. dispute resolution 

Dalam Pasal 9 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/ KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing), disebutkan bahwa perjanjian leasing sekurang-kurangnya memuat:

a. jenis transaksi leasing (sewa guna usaha);
b. nama dan alamt masing-masing pihak;
c. nama, jenis, type dan lokasi penggunaan barang modal;
d. harga perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran leasing, angsuran pokok pembiayaan, imbalan jasa, nilai sisa (residual value), simpanan jaminan, dan ketentuan asuransi atas barang modal yang dileasekan (disewa guna usahakan);
e. masa sewa lease (sewa guna usaha);
f. ketentuan mengenai pengakhiran transaksi atas barang modal lese yang dipercepat, dan penetapan kerugian yang harus ditanggung lessee dalam hal barang modal dilesekan dengan hak opsi hilang, rusak atau tidak berfungsi karena sebab apapun;
g. opsi bagi penyewa lease dalam hal transaksi lease dengan hak opsi;
h. tanggungjawab para pihak atas barang modal yang dileasekan. 

Selanjutnya dalam kontrak (perjanjian nasional), dalam hal ini perjanjian leasing Komar Andasasmita menyebutkan: paling tidak dalam perjanjian leasing memuat: 

a. obyek lease: obyek yang dijadikan perjanjian leasing harus jelas, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman antara yang dimintakan dengan yang diserahkan.
b. hak milik dari barang lease: barang lease harus dimiliki oleh lessor, sehingga lessor dapat menuanaikan kewajiban pada lessee untuk menyerahkan barang lease.
c. lamanya kontrak: jangka waktu kontrak juga harus jelas dalam kontrak, sehingga jelas pula kapan berakhirnya kontrak. Tanggal kapan barang diserahkan, hendaknya jelas.
d. kewajiban lessor dan lessee: kewajiban para pihak harus jelas, sehingga pada saat salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya bisa diketahui dan selanjtunya bisa dituntut tanggungjawabnya sesuai dengan kedudukannya sebagai lessee atau lessor.
e. pertanggungan/garansi: ini berkait dengan pihak ketiga yang ikut dalam perjanjian leasing, yang dapat memberikan jaminan pada lessee untuk menunaikan kewajibannya apabila pada suatu waktu lessee tidak dapat menjalankan kewajibannya. Fungsi penjamin ini tergantung pada jenis perjanjian leasing yaitu operational leasing atau financial leasing.

Adapun mengenai jenis perjanjian leasing, sebagaiman disebut di atas ada dua yaitu: 

a. Operating lease yaitu perjanjian lesing dimana pihak lessee melease suatu jenis barang/peralatan tertentu dengan tujuan untuk memperoleh manfaat atas barang/alat tersebut. Sedangkan lessor disini hanya mengenakan biaya sewa atas barang tersebut. Operating lese ini misalnya pada mesin foto copy, buldozer dan sebagainya.
b. Financial lease, disini lessor memndapatkan hak milik atas barang yang bergerak atau barang tidak bergerak yang kemudian diserahkan untuk dipakai oleh lessee untuk jangka waktu maksimum sama dengan masa kegunaan ekonomis suatu barang yang bersangkutan. Sebaliknya lessee berkewajiban untuk membayar kepada lessor seluruh biaya lessor untuk mendapatkan barang ditambah dengan keuntungan yang disepakati. 

D. Implementasi Azas Kebebasan Berkontrak

Sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa azas kebebasan berkontrak dalam KUH Perdata tercermin dalam Pasal 1380 ayat (1), yang menyebutkan: 

"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang mebuatnya".
Asas tersebut diberlakukan secara luas dalam praktek hukum Indonesia, dan bahkan menjadi penting karena digunakan sebagai kunci dalam mengembangkan berbagai jenis perjanjian yang sebelumnya tidak dikenal dalam sisten hukum dan praktek hukum di Indonsia. 

Oleh karena begitu pentingnya azas kebebasan berkontrak, dalam perkembangannya menimbulkan hal-hal yang negatif yaitu kalau seseorang dirugikan akibat dari perjanjian yang telah dibuatnya adalah dianggap salahnya sendiri dan harus tetap melaksanakan perjanjian itu. Janji yang dilakukan dengan sukarela harus dipenuhi meskipun menderita kerugian karenanya perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak. 

Dalam perkembangan lanjut, azas kebebasan berkontrak mengalami suatu perubahan dalam bentuk memperhatikan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat. Dalam arti kalau memang salah satu pihak tidak dapat melaksanakan perjanjiannya karena suatu keadaan yang memaksa, maka perjanjian dapat disimpangi dengan mencari alternatif penyelesaian antara para pihak. Yang jelas iktikad baik untuk menuanaikan kewajiban harus tetap dipegang sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1338 ayat (2) dan (3) yang menyebutkan:

"Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu".

"Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik".

Dengan demikian kebebasan berkontrak bukan berarti kebebasan yang tidak mempunyai batasan, akan tetapi kebebasan berkontrak disyaratkan adanya iktikad baik. Dengan adanya iktikad baik (sebagaimana telah dijelaskan di atas), maka seseorang tidak dapat sewenang-wenang dalam malaksanakan perjanjian yang telah disepakatinya tanpa mempertimbangkan kepentingan pihak yang memiliki posisi bargainig position yang lemah, karena sangat membutuhkan. Dengan kata lain kebebasan berkontrak dilaksanakan dengan bertanggungjawab.

Berkait dengan kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab, almarhum Supomo pernah memberikan pidato: "Di Indonesia yang primair adalah masyarakat. Hukum bertujuan mencapai kepentingan individu yang serasi dan seimbang dengan kepentingan masyarakat. 

Disebutkan juga, di dalam kebebasan terkandung "tanggungjawab". maka dari itu didalam perjanjian nasional, azas kebebasan berkontrak yang bertanggungjawab, yang mampu memelihara keseimbangan perlu dipelihara sebagai modal "pengembangan kepribadian" untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang serasi, selaras dan seimbang demi kepentingan masyarakat. 

Dengan demikian dapat disebutkan bahwa dalam pelaksanannya azas kebebasan berkontrak tidak mempunyai arti yang bebas lepas atau tidak terbatas, akan tetapi dibatasi dengan persyaratan iktikad baik dan tanggungjawab oleh para pihak, dengan tetap memperhatikan para pihak khususnya pihak yang memiliki bargaining position yang lemah, dan umumnya kepentingan masyarakat.

D. Analisis Kasus Sengketa Kontrak Leasing

1. Posisi Kasus

  • Eddy adalah Direktur CV. Grafel Offset di Surabaya, suatu perusahan dibidang percetakan. Pada 1984 berkeinginan menambah kemampuan cetak perusahaannya. Untuk itu, Eddy memesan sebuah mesin offset "Miller.TP.295" melalui jasa leasing dari PT. Pamor Cipta Inti Leasing yang dipimpin Ir. Wilson Tjogiarto. Sebagai penjamin adalah PT. Baginda Putera, yang dilkelola Baginda Batangtaris. Maka diantara ketiganya terjadi hubungan bisnis.
  • PT Pamor Cipta Inti Leasing adalah Lessor. Pemasok barang (suplier) dan penerima jaminan dari CV Grafel Offset dan PT. Baginda Putera.
  • CV Grafel Offset adalah Lesse, yang menerima barang dari Lesor dan pemberi jaminan pada lesor untuk pembayaran ganti rugi jika terjadi kegagalan pelaksanaan perjanjian.
  • Sedangkan PT. Baginda Putra adalah Supplier atau Importir yang memasok barang kepada Lesse, sekaligus pemberi jaminan kepada PT. Pamor Cipta Inti Leasing untuk membeli kembali barang tersebut, jika Lesse gagal melaksanakan perjanjian.
  • Tanggal 18 Nopember 1983, dibuatlah "perjanjian Leasing" dihadapan Notaris di Jakarta, Samsul Hadi, SH, yang ditandatangani Wilson sebagai pimpinan PT. Pamor Cipta Inti Leasing. Eddy mewakili CV. Graffel Offset. Pada saat yang sama ditandatangani pula Surat Garansi (jaminan) dan ganti kerugian oleh Eddy (CV. Grafel Offset) serta surat garansi untuk pembelian kembali yang ditandatangani pihak PT. Baginda Putra.
  • Dari perjanjian yang dibuat, maka masing-masing pihak mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan yang diperjanjikan.
Cara pembayaran yang disepakati:
  • CV. Grafel Offset harus mendepositokan uang pada PT. Pamor Cipta Inti Leasing" sebesar Rp. 25.650.000;
  • - Lease Period (masa produktif mesin) selama 3 tahun Lessee diwajibkan membayar harga mesin secara bertahap.
  • "Lease Rent" (sewa) yang harus dibayar tiap bulan Rp. 6.021.370;
  • "Residual Value" (nilai sisa) sebesar 20% = Rp. 34.200.000;
  • Dalam perkembangannya, setelah mesin yang dipesan telah diterima CV. Grafel offset, Eddy tidak mampu membayar kewajibannya. Tanggal 12-9-1984, Eddy menyatakan diri tidak mampu lagi mengangsur harga mesin dan meminta agar mesin itu diangkat. Sebagaimana disepakati, adalah kewajiban PT. Baginda Putra, sebagai penjamin yang harus membeli kembali mesin tersbut (guarantee to buy back). Jumlah yang harus dibayar PT. Baginda Putera sebagai penjamin adalah Rp. 220.352.367; namun demikian, meski telah dihubungi persurat berkali-kali, pihak PT. Baginda Putera tidak memberikan tanggapan untuk melaksanakan kewajibannya.
  • Mesin yang kemudian disimpan digudang PT.Pamor Cipta Inti tersebut, tidak dapat lagi dioperasikan, apalagi dipasarkan karena bagian-bagian penting dari mesin offset itu (electronic Monitoring System) WEKO TYPE 7309 dan Spare parts MILLER TP 29 S TYPE WL 230/59, diambil oleh Baginda Batang Taris tanpa sepengetahuan Wilson.
  • Perjanjian Leasing antara PT. Pamor Cipta Inti - CV Grafel Offset PT. Baginda Putera, pada dasarnya tidak dapat dibatalkan, karena Eddy telah membayar Residual Value sebesar 15% = Rp.25.650.000; Ini berarti Eddy telah menggunakan hak opsi, yakni akan membeli barang, modal jika harga sewa telah dibayar seluruhnya.
  • Selanjutnya karena merasa dirugikan Ir. Wilson Tj. sebagai lessor menggugat lesse dan supplier melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
  • Pada Pengadilan Tingkat Pertama yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan seluruh gugatan lessor dikabulkan;
  • Pada Tingkat Banding gugatan dikabulkan sebagian;
  • Pada Tingkat Kasasi dikabulkan sebagaian. 

2. Analisis Kasus

Dengan memperhatikan kasus posisi sengketa perjanjian leasing di atas dapat dikemukan hal-hal sebagai berikut:

  • Obyek dari perjanjian leasing adalah mesin offset "Miller.TP.295"
  • Subyek perjanjian terdiri dari 3 (tiga pihak):
  1. Pihak I: PT Pamor Cipta Inti Leasing adalah Lessor. Pemasok barang (suplier). Penerima jaminan dari CV Grafel Offset dan PT. Baginda Putera.
  2. Pihak II: CV Grafel Offset adalah Lesse. Penerima barang dari Lessor.
  3. Pihak III: PT. Baginda Putra adalah Supplier. Pemasok barang kepada lessee dan pemberi jaminan kepada PT. Pamor Cipta Inti Leasing.
  • Bentuk perjanjian leasing adalah finance lease yaitu pihak lessee memiliki hak opsi.
  • Isi perjanjian telah disepakati oleh para pihak, dan berlaku sebagai undang-undang, dengan otomatis Pasal 1338 KUHP Perdata berlaku bagi para pihak.

Dalam kasus sengketa kontrak leasing, para pihak telah menyepakati perjanjian yang telah dibuatnya, sehingga sesuai dengan ketentuan yang berlaku pihak-pihak tersebut mempunyai hak dan kewajiban masing-masing untuk ditunaikan. Karena perjanjian yang telah disepakati dengan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan undang-undang (Pasal 1320 KUHPerdata), maka berlaku sebagai undang-undang bagi para Pihak dan bersifat mengikat (Pasal 1338 KUHPerdata Jo 1339 KUHPerdata).

Dalam pelaksanaan perjanjian yang berlaku 3 (Tiga) tahun, ternyata pihak Lesse tidak dapat menunaikan kewajibannya untuk membayar sewa, karena sejak 4 (empat) bulan digunakan barang lease mengalami kerusakan. Aduan mengenai kerusakan yang diajukan pada pihak penjamin dalam hal ini Supplier tidak pernah dihiraukan bahkan pihak supplier telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan cara mengambil bagian-bagian penting dari mesin offset itu (electronic Monitoring System) WEKO TYPE 7309 dan Spare parts MILLER TP 29 S TYPE WL 230/59, tanpa sepengetahuan Wilson, sebagai lessor.

Dengan demikian keadaan berhenti membayar (wanprestasi) oleh Pihak I sebagai Lesse karena adanya suatu keadaan yang memaksa yaitu mesin mengalami kerusakan, dan kerusakan tersebut diketaui oleh supplier sebagai penjamin. Oleh karena itu yang dapat dinyatakan wanprestasi adalah Supplier yang bertindak sebagai penjamin dalam hal ini adalah Pihak III. Sehingga Pihak I sebagai Lesse tidak dapat dimintai ganti rugi akibat berhenti membayar oleh Pihak II yaitu Lessor.

Oleh karena itu azas kebebasan berkontrak dalam kontrak leasing yang diadakan oleh para pihak, dalam hal ini Pihak I sebagai Lessee yang memiliki bargaining position lemah tidak dapat dilaksanakan secara penuh, disebabkan adanya keadaan yang memaksa dan sudah seharusnya mendapat perlindungan hukum.

Dalam kasus ini, Pihak II (Lessor) menekankan tuntutan ganti ruginya pada Pihak I (Lessee). Padahal dalam hal ini Pihak III (Supplier) yang memiliki kesalahan besar. Maka dari itu gugatan akhir melalui Kasasi Pihak I (Lesse) dibebaskan dari membayar ganti rugi kepada Pihak II (Lessor). Yang bertanggungjawab atas tuntutan ganti rugi, akhirnya jatuh pada Pihak III (Supplier) sebagai penjamin.

Hal yang dapat diperoleh dari pembahasan kasus tersebut adalah:

Dalam perjanjian (kontrak) Lease, pihak Lesse telah menerima barang modal berupa mesin cetak offset dari Supplier (Importir atas order pihak Lessor Equipment/ mesin cetak) yang diterima oleh Lessee tersebut. Ternyata kondisi barang modal dalam keadaan tidak baik, tidak dapat dioperasikan. Hal tersebut telah diberitahukan kepada Lessor. 

Dengan rusaknya barang modal, berarti telah terjadi kegagalan dalam kontrak (perjanjian leasing). Oleh karena Supplier berkedudukan sebagai penjamin, maka Supplier harus bertanggungjawab atas kegagalan perjanjian Lease tersebut dan wajib membeli kembali barang modal (mesin cetak/equipment). Pihak Lessee dalam hal ini tidak dapat dibebani kewajiban hukum untuk membayar "lease rent" (sewa lease) dan "overdue interest" (bunga terlambat) kepada lessor, meskipun mesin cetak sempat dikuasai Lessee selama 4 (empat) bulan lamanya, akan tetapi tidak dapat dioperasikan, sehingga Lessee meminta agar barang diambil kembali dan tidak membayar lease rent.

E. Kesimpulan

Dari uraian di muka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian leasing tidak dapat dibatalkan oleh satu pihak. Kecuali telah mendapat persetujuan antar para pihak.

Dalam pelaksanaannya, perjanjian leasing yang mendasarkan pada azas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUH Perdata) tidak dapat dijalankan sepenuhnya oleh Pihak Lessee (pihak yang berjanji/pihak yang menerima barang modal dari Lessor) karena adanya suatu keadaan yang mamaksa yaitu rusaknya barang ketika perjanjian baru berjalan. Dalam kondisi seperti ini pihak Lessee tidak bisa dipaksa untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan perjanjian yang telah diperjanjikan. 

Dengan demikian dapat disebutkan bahwa azas kebebasan berkontrak dibatasi oleh iktikad baik oleh para pihak, ketika pihak yang berjanji telah berusaha menuanaikan kewajibannya sesuai yang diperjanjikan akan tetapi terhalang oleh suatu keadaan (rusaknya barang modal), maka dapat terhindar dari melaksanakan perjanjian yang telah disepakati. Jadi pelaksanaan azas kebebasan berkontrak tidak bebas, akan tetapi terbatas. Karena kalau azas kebebasan berkontrak tidak terbatas, akan menimbulkan kesewenang-wenangan dari pihak yang memiliki bargaining position yang kuat. dengan begitu perlindungan hukum bagi pihak yang memilki bargaining position lemah, terancam. 

catatan kaki:
[1]Penulis adalah dosen pada Fakultas Syari‘ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[2]Amin Widjaya Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis dalam Leasing, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), p. 1.
[3]Ibid., p. 3.
[4]John A. Willes, Contemporary Canadian Bussines Law: Principle and Cases, (Canada: McGraw-Hill1 Ryerson, 1981), p. 105
[5]Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1986), p. 96.
[6]Subekti dan R. Tjitrosudibio, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1984), p. 13
[7]P.S. Atiyah, An Intrroduction to The Law of Contract, (Oxford: Clarendon Press, 1981), p. 28
[8]J.r. William F. Fox, International Commercial, Agreement, (Netherland: Kluer Law and Taxation Publisher, 1992), p. 50
[9]Ibid., p. 50
[10]Purwakhid Patrik, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan Sebagai Dasar  Untuk Merevisi Isi Perjanjian, (Jakarta: Elips Project, 1993), p.  3
[11]Ibid.
[12]Subekti, Hukum..., p. 45.
[13]Jr. William F. Fox, International..., p. 60-61
[14]Komar Andasasmita, Serba Serbi tentang Leasing: Teori dan Praktek, (Jawa Barat: Ikatan Notaris Indonesia Komisariat Jawa Barat, 1989), p.  3
[15]Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta: Inter Media, 1991), p. 139.
[16]Ibid.
[17]Hans Van Houtte, The Law of Intyernational Trade, (london: Sweet and Maxwell, 1995), p. 293-294
[18]Amin Widjaya Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis..., p. 8, Lihat Juga Dalam Frank Taira Supit, The Legal Aspect of Leasing,  (ttp: Institute for International Research, 1992), p. 1
[19]Dahlan Siamat,  Mamajemen Lembaga...., p. 140
[20]Amin Widjaya Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, Aspek Yurudis..., p. 3
[21]Donnell Barnes Metger, The Law for Bussines, (United State of America: Irwin, 1983), p. 73
[22]J.r.,William F. Fox.,  International Commercial..., p.50-67
[23] Komar Andasasmita, Serba Serbi..., p. 119-140
[24]Agus Hardjito, "Leasing Sebagai Alternatif Sumber Pembiayaan Perusahaan”, Unisia, nomor 11 Tahun XII Triwulan I- 1991, p. 84-85
[25]Erman Rajagukgug, Peran Hukum Kontrak Internasional dalam Perdagangan Bebas, Makalah Seminar BPHN Depkeh Tanggal 6 Maret 1997,    p. 4
[26]Purwahid Patrik, Asas Iktikad..., p. 1
[27]Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), p. 44
[28]Ibid.




Daftar Pustaka

A. Willes, John, Contemporary Canadian Business Law: Principles and Cases, Canada: McGraw-Hill Ryerson Limited, 1981.
Andasasmita, Komar, Serba-serbi Tentang Leasing (Teori dan Praktek) Ikatan Notaris Indonesia Komisariat Daerah Jawa Barat, 1989.
Atiyah, P.S., An Introduction to The Law of Contract, Third Edition, Oxford: Clarendon Press, 1981.
Darus Badrulzaman, Mariam, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 1994
F. Fox, J.r. William, International Commercial Agreements, Second Edition, Deventer, The Nedtherlands: Kluwer Law and Taxation Publishers, 1992.
Hardjito, Agus, Leasing Sebagai alternatif Sumber Pembiayaan Perusahaan, Unisia, N0. 11 Tahun XII Triwulan I-1991.
Keppres No. 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga Pembiayaan.
Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing).
Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1986.
Metzger, Donnell Barnes, Law For Bussiness, United State Of America : IRWIN, 1983.
Patrik, Purwakhid, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan Sebagai Dasar Untuk Merevisi Isi Perjanjian, Jakarta: Elips Project, 1993.
Rajagukguk, Erman, Peran Hukum Kontrak Internasional dalam Perdagangan Bebas, BPHN-Depkeh, 6 Maret 1997.
Siamat, Dahlan, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: Intermedia, 1991.
Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1992.
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1984.
Supit, Frank Taira, The Legal Aspect of Leasing, ttp: Institute for International Research, 1992.
Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri Keuagan, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian No. KEP. 122/MK/IV/2/1974. No.32/M/SK/2/1974, dan No.30 /Kpb/ I/1974 tertanggal 7 Pebruari 1974, tentang Perizinan Usaha Leasing.
Tunggal, Amin Widjaya dan Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis dalam Leasing, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
van Houtte, Hans, The Law of International Trade, London: Sweet and Maxwell, 1995.
Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun. XIII. No. 151. April 1998
◄ Newer Post Older Post ►