Senin, 21 November 2011

Kisah Gadis Kecil Penjual Korek Api

Dongeng Gadis Penjual Korek Api sudah cukup masyhur, terutama di kalangan umat Kristiani. Cerita ini biasanya mengiringi perayaan Natal. Karya pendongeng terkenal dari Denmark, Hans Christian Andersen (1805-1875) ini bercerita tentang kegigihan seorang gadis kecil yang tetap menjajakan korek api-nya di bawah guyuran salju. Dia melakukan itu atas paksaan dari ayah tirinya.
Karena tidak tahan dengan dinginnya salju, si gadis kecil itupun menyalakan satu persatu korek apinya, untuk menghangatkan badan. Setiap batang korek api yang menyala, membawanya kepada khalayan tentang ibu dan neneknya yang sudah meninggal dunia. Dan sampai pada batang korek terakhir, dia pun meninggal, menyusul ibu dan neneknya.

Melihat gambar-gambarnya yang klasik membuatku teringat masa kecil dulu yang berteman dengan komik-komik ajaib seperti ini, mungkin ada yang sudah pernah membaca ceritanya atau menonton filmnya??! dan pasti kalian berpendapat yang sama, sangat menyentuh...

Kisah Gadis Kecil Penjual Korek Api
oleh Hans Christian Andersen

Di malam Natal, orang-orang berjalan dengan wajah yang gembira memenuhi jalan di kota. Di jalan itu ada seorang gadis kecil mengenakan pakaian compang-camping sedang menjual korek api.
"Mau beli korek api?" "Ibu, belilah korek api ini."
"Aku tidak butuh korek api, sebab di rumah ada banyak."


Tidak ada seorang pun yang membeli korek api dari gadis itu. Tetapi, kalau ia pulang tanpa membawa uang hasil penjualan korek api, akan dipukuli oleh ayahnya.

Ketika akan menyeberangi jalan. Grek! Grek! Tiba-tiba sebuah kereta kuda berlari dengan kencangnya. "Hyaaa! Awaaaaas!" Gadis itu melompat karena terkejut. Pada saat itu sepatu yang dipakainya terlepas dan terlempar entah ke mana. Sedangkan sepatu sebelahnya jatuh di seberang jalan. Ketika gadis itu bermaksud pergi untuk memungutnya, seorang anak laki-laki memungut sepatu itu lalu melarikan diri. "Wah, aku menemukan barang yang bagus."


Akhirnya gadis itu bertelanjang kaki. Di sekitarnya, korek api jatuh berserakan. Sudah tidak bisa dijual lagi. Kalau pulang ke rumah begini saja, ia tidak dapat membayangkan bagaimana hukuman yang akan diterima dari ayahnya.

Apa boleh buat, gadis itu membawa korek api yang tersisa, lalu berjalan dengan sangat lelahnya. Terlihatlah sinar yang terang dari jendela sebuah rumah. Ketika gadis itu pergi mendekatinya, terdengar suara tawa gembira dari dalam rumah. Di rumah, yang dihangatkan oleh api perapian, dan penghuninya terlihat sedang menikmati hidangan natal yang lezat.


Gadis itu meneteskan air mata. "Ketika ibu masih hidup, di rumahku juga merayakan natal seperti ini." Dari jendela terlihat pohon natal berkelip-kelip dan anak-anak yang gembira menerima banyak hadiah.

Akhirnya cahaya di sekitar jendela hilang, dan di sekelilingnya menjadi sunyi. Salju yang dingin terus turun.
Sambil menggigil kedinginan, gadis itu duduk tertimpa curahan salju.
Perut terasa lapar dan sudah tidak bisa bergerak.

Gadis yang kedinginan itu, menghembus-hembuskan nafasnya ke tangan. Tetapi, sedikit pun tak menghangatkannya. "Kalau aku menyalakan korek api ini, mungkin akan sedikit terasa hangat." Kemudian gadis itu menyalakan sebatang korek api dengan menggoreskannya di dinding. Crrrs…* Lalu dari dalam nyala api muncul sebuah penghangat. "Oh, hangatnya." Gadis itu mengangkat tangannya ke arah tungku pemanas.

Pada saat api itu padam tungku pemanaspun menghilang.


Gadis itu menyalakan batang korek api yang kedua. Kali ini dari dalam nyala api muncul aneka macam hidangan. Di depan matanya, berdiri sebuah meja yang penuh dengan makanan hangat. "Wow! Kelihatannya enak." Kemudian seekor angsa panggang melayang menghampirinya. Tetapi, ketika ia berusaha menjangkau, apinya padam dan hidangan itu menghilang.

Gadis itu segera mengambil korek apinya, lalu menyalakannya lagi. Crrrs...!! Tiba-tiba gadis itu sudah berada di bawah sebuah pohon natal yang besar. "Wow! Lebih indah daripada pohon natal yang terlihat dari jendela tadi."

Pada pohon natal itu terdapat banyak lilin yang bersinar. "Wah! Indah sekali!" Gadis itu tanpa sadar menjulurkan tangannya lalu korek api bergoyang tertiup angin. Tetapi, cahaya lilin itu naik ke langit dan semakin redup. Lalu berubah menjadi bintang yang sangat banyak. Salah satu bintang itu dengan cepat menjadi bintang beralih. "Wah, malam ini ada seseorang yang mati dan pergi ke tempat Tuhan, ya... Waktu Nenek masih hidup, aku diberitahu olehnya."
 
Sambil menatap ke arah langit, gadis itu teringat kepada Neneknya yang baik hati. Kemudian gadis itu menyalakan sebatang lilin lagi. Lalu di dalam cahaya api muncul wujud Nenek yang dirindukannya. Sambil tersenyum, Nenek menjulurkan tangannya ke arah gadis itu.

"Nenek!" Serasa mimpi gadis itu melompat ke dalam pelukan Nenek. "Oh, Nenek, sudah lama aku ingin bertemu." Gadis itu menceritakan peristiwa yang dialaminya, di dalam pelukan Nenek yang disayanginya. "Kenapa Nenek pergi meninggalkanku seorang diri? Jangan pergi lagi. Bawalah aku pergi ke tempat Nenek."

Pada saat itu korek api yang dibakar anak itu padam.


"Ah, kalau apinya mati, Nenek pun akan pergi juga. Seperti tungku pemanas dan makanan tadi..." Gadis itu segera mengumpulkan korek api yang tersisa, lalu menggosokkan semuanya. Gulungan korek api itu terbakar, dan menyinari sekitarnya seperti siang harl. Nenek memeluk gadis itu dengan erat. Dengan diselimuti cahaya, nenek dan gadis itu pergi naik ke langit dengan perlahan-lahan. "Nenek, kita mau pergi ke mana?" "Ke tempat Tuhan berada," jawab Neneknya.

Keduanya semakin lama semakin tinggi ke arah langit. Nenek berkata dengan lembut kepada gadis itu, "Kalau sampai di surga, Ibumu yang menunggu dan menyiapkan makanan yang enak untuk kita." Gadis itu tertawa senang.


Pagi harinya. Orang-orang yang lewat di jalan menemukan gadis penjual korek api tertelungkup di dalam salju. "Gawat! Gadis kecil ini jatuh pingsan di tempat seperti ini." "Cepat panggil dokter!"

Orang-orang yang berkumpul di sekitarnya semuanya menyesalkan kematian gadis itu.
Ibu yang menolak membeli korek api pada malam kemarin menangis dengan keras dan berkata, "Kasihan kamu, Nak. Kalau tidak ada tempat untuk pulang, sebaiknya kumasukkan ke dalam rumah."

Orang-orang kota mengadakan upacara pemakaman gadis itu di gereja, dan berdoa kepada Tuhan agar mereka berbuat ramah meskipun pada orang miskin.


***
Di tengah tantangan kehidupan yang silih berganti, semoga kisah klasik ini memberikan inspirasi tertentu bagi setiap kita yang membacanya. Kisah yang mengandung muatan nilai-nilai yang bersifat Universal. Mengingatkan kita untuk selalu bersyukur atas apa yang kita miliki, dan senantiasa untuk tidak pernah ragu membantu orang lain yang membutuhkan, mengalami kesusahan atau ketidak beruntungan dalam hidup mereka.

Cerita rakyat Eropa ini diciptakan oleh seorang yang bernama Hans Christian Andersen*. Bahkan The Little Mermaid dan The Red Shoes adalah beberapa film yang sebenarnya bersumber dari orang yang sama, tetapi semuanya itu tidak banyak orang yang mengetahuinya. Mereka tahunya itu produk Disney dan Disney saja...

*) Tentang Hans Christian Andersen:

Andersen lahir di kawasan kumuh kota Odense, Denmarrk bagian selatan, pada 2 April 1805. Ayahnya, Hans Andersen adalah seorang pembuat sepatu yang miskin dan buta huruf yang merasa dirinya masih keturunan bangsawan. Sedangkan ibunya Anne Marie Andersdatter, bekerja sebagai buruh cuci.

Walau besar dalam lingkungan yang miskin, sejak kecil Hans Christian Andersen sudah mengenal berbagai cerita dongeng. Ia juga akrab dengan pertunjukkan sandiwara. Kendati tak mengenal bangku sekolah dan percaya takhayul, sang ibunya yang membuat H.C Andersen berkenalan dengan certa-cerita Rakyat.

Di kemudian hari, H.C. Andersen sempat melukiskan sosok sang Ibu dalam berbagai novelnya, misalnya dari cerita yang berjudul Hun Duede Ikke. Sayang Ibunya belakangan terjebak menjadi seorang pemabuk berat sebelum wafat pada 1833 di sebuah panti jompo.

Ayahnya seorang pencinta sastra. Lelaki itu kerap mengajak Hans menonton pertunjukkan sandiwara. Dalam otobiografinya, The True Story of My Life yang terbit pada tahun 1846, H.C. Andersen menulis, "Ayah memuaskan semua dahagaku. Ia seolah hidup hanya untukku. Setiap Minggu ia membuatkan gambar-gambar dan membacakan certa-cerita dongeng. hanya pada saat-saat seperti inilah aku melihat dia begitu riang, karena sesungguhnya ia tak pernah bahagia dalam kehidupannya sebagai seorang pengrajin sepatu". Pada tahun 1816 ayah H.C Andersen meninggal.

Sikap dan pengalaman dari orang tua itulah yang membuah H.C. Andersen tertarik dengan dunia mainan, cerita, sandiwara termasuk karya William Shakespeare. (Wikipedia)

Website: http://www.andersen.sdu.dk/index_e.html

.

◄ Newer Post Older Post ►