Selasa, 04 Oktober 2011

Bung Hatta: Kepala Keluarga, Pemimpin Rumah Tangga

Prof Dr Meutia Hatta
9 Mei 2009. Sebuah kisah perbincangan tentang Bung Hatta dari sisi lain yang sangat menarik, yang di paparkan oleh putri sulungnya Meutia Hatta dalam memperingati 100 tahun Bung Hatta.

Orang Baik Tak Mudah Ditiru

JUMAT 9 Agustus lalu bangsa Indonesia memperingati genap seabad (100 tahun) Mohammad Hatta, proklamator dan wakil presiden pertama RI yang lebih akrab dengan nama panggilan Bung Hatta. Perjalanan hidupnya, yang selalu diwarnai dengan kejujuran dan kesederhanaan seperti pengalaman betapa keluarga wakil presiden sampai harus bersusah-payah menabung sekadar untuk membeli mesin jahit- menempatkan dirinya sebagai salah satu sosok yang patut diteladani di negeri ini, terlebih di tengah carut-marut Indonesia saat ini, yang salah satu penyebabnya adalah ketidakpedulian elite politik terhadap wong cilik.

Berikut ini bincang-bincang dengan Prof Dr Meutia Farida, putri sulung Bung Hatta. Antropolog dari Universitas Indonesia (UI) dan istri ekonom Prof Dr Sri-Edi Swasono itu menerima kedatangan Suara Merdeka di rumahnya, Jl Daksinapati Timur No 9 Rawamangun, Jakarta Timur.

Dalam perannya sebagai ayah dan kebetulan menjadi satu-satunya lelaki di rumah, bagaimana sosok Bung Hatta di mata keluarga?

Ayah selalu berwibawa dalam setiap tindakannya, dan itu tidak dibuat-buat atau dipaksakan. Walaupun demikian, penuh kasih sayang terhadap keluarga. Selain itu beliau sudah menanamkan prinsip saling menghargai atau bisa disebut juga demokratis, sesuatu yang saat itu sudah dianggap sangat maju. Ini bisa dilihat dari sikapnya yang sangat menghargai pendapat kami, walaupun usia kami sangat jauh dan semuanya perempuan. Itu sudah berlaku sejak kami masih kanak-kanak.

Apakah Bung Hatta menerapkan prinsip-prinsip hidupnya dalam keluarga, sehingga berkesan kaku?

Sebenarnya Ayah tidaklah kaku. Mungkin ada orang yang beranggapan begitu, karena Bung Hatta hemat berbicara. Tetapi kalau kami menanyakan sesuatu dan Ayah tahu bahwa kami mempunyai minat khusus mengenai yang ingin kami tanyakan, dia akan menjelaskan secara panjang lebar. Ayah juga sering berupaya keras mencari apakah yang kami tanyakan tadi ada dalam buku-buku yang menjadi koleksinya. Beliau kemudian menyodorkan buku-buku yang di dalamnya ada jawaban pertanyaan kami. Selain itu beliau sering menunjukkan pada kami buku-buku bagus yang dimiliki, untuk kami baca. Ayah akan merasa senang sekali bila bisa menjelaskan apa yang ditanyakan anak-anaknya. Bung Hatta juga suka diam bila ada yang memberikan pertanyaan konyol atau tidak logis. Ini bukan humor, lo. Apalagi kalau pertanyaan konyol tersebut datang dari orang dewasa. Kepada orang-orang seperti itu, Ayah paling hanya tersenyum.

Pendidikan apa yang ditanamkan Bung Hatta pada anak-anaknya sejak dini?

Mengenai pendidikan yang ditanamkan pada kami, anak-anaknya, Ayah sebenarnya sering mengajarkan agar kami menyatu dengan lingkungan, agar kami menikmati alam dan menyelami cara hidup masyarakat. Jadi beliau mengajarkan kami dengan praktik langsung. Misalnya, dengan membawa kami jalan-jalan ke Megamendung (Jawa Barat). Jadi sambil membaca buku tentang alam, kami jalan-jalan di perkebunan teh di Megamendung yang berhawa sejuk. Saya masih ingat waktu itu kami masih kecil-kecil. Saya dan adik saya, Gemala, terpaut lima tahun dan dengan yang bungsu, Halida, saya terpaut sembilan tahun.
Saya masih ingat betapa riangnya saat itu bersama Ayah. Kami bersama-sama jalan sampai menuju desa-desa di sekitar lokasi itu. Pada lokasi tertentu kami dijemput sopir, lalu kembali ke rumah. Ayah sebenarnya kuat untuk pulang berjalan kaki menuju rumah tempat kami berlibur, walaupun melewati jalan yang mendaki. Tapi karena kami masih kecil, ya tidak kuat jalan jauh. Jadi beliau mengalah dan pulang bersama kami. Acara seperti itu biasanya kami lakukan pada hari Minggu. Antara 1950-an hingga awal 1960-an. Waktu itu kami masih duduk di SMP, SD, dan TK.

Mengenai kedisiplinan ?

Ini yang perlu saya jelaskan dan ini yang terpenting ditanamkan Ayah pada anak-anaknya, karena ini yang sifatnya prinsip bagi Bung Hatta. Pendidikan yang kami terima adalah pendidikan tentang pentingnya hidup dengan tertib. Dalam arti tidak boleh menerabas, karena semuanya ada aturannya. Mengenai hal ini pun beliau mencontohkan secara langsung. Kami harus antre di toko buku, ini pendidikan tentang tata tertib di tempat umum, makan pada jam makan, berhenti menerima tamu atau teman pada pukul 19.30, karena pada pukul 20.00 kami harus makan malam bersama. Jadi kedekatan keluarga kami dibina dengan cara ini. Begitu pula dengan berpakaian, harus sesuai dengan lingkungan tempat kami berada. Misalnya ditekankan agar tidak meninggalkan kamar tidur dengan hanya mengenakan piyama. Kalau pergi ke undangan resepsi, tidak boleh memakai celana panjang, tetapi harus berkain-kebaya atau rok sesuai sifat undangannya. Kalau ada open house dalam rangka Idul Fitri, kami harus berpakaian kain kebaya. Begitu juga dengan sopan santun, termasuk berbahasa. Ayah tidak pernah menggunakan kata "kamu" untuk menyapa kami. Tetapi memanggil nama. Serta selalu menggunakan bahasa Indonesia yang benar. Karena kami memang benar-benar orang Indonesia. Ayah saya Minang asli, Ibu campuran Jawa-Aceh. Selain itu ditekankan agar catatan, termasuk catatan keuangan, harus rapi. Contoh pengalaman saya sendiri, saya diajari disiplin dan tertib dengan cara diberi tugas menulis pengeluaran belanja pasar setiap harinya, waktu saya berusia 12 tahun. Biasanya Ibu yang menulis catatan belanja dan yang berbelanja adalah koki kami waktu itu, Mbah Surip.

Namun sekali-kali saya harus mengambil alih tugas itu, kalau kebetulan Ibu pergi, misalnya ada pernikahan salah satu kerabat di luar kota. Maklum saya anak tertua dan adik-adik masih kecil, waktu itu ada yang SD dan ada yang balita. Baru-baru ini saya menemukan kembali catatan belanja yang saya tulis pada tahun 1959, dan saya ingat saya harus mengembalikan sisa belanja secara utuh. Begitu pula adik-adik saya, juga mendapat pendidikan serupa.

Apakah pendidikan yang ditanamkan masih berkesan sampai kini?

Ya masih. Pengaruhnya pada kebiasaan kami adalah sampai sekarang kalau salah satu adik saya ke luar kota atau ke luar negeri dan saya menitip uang untuk membeli sesuatu, adik yang dititipi akan mencatat dengan teliti, uang berapa, kursnya berapa, belanjanya berapa, dan sisanya sampai ke sen-sennya itu kalau uang negara lain. Demikian pula dengan saya. Kami terbiasa jujur, biar pun Rp 100 akan dikembalikan. Kami menganggap, sesama kakak-beradik harus jujur dan adil, karena kita harus bergaul selama seumur hidup. Betapapun masing-masing saudara itu berbeda. Namun berkat ajaran Ayah dan Ibu mengenai kejujuran dan kasih sayang, kami merasakan pentingnya bersatu.

Apakah Bung Hatta juga pernah menceritakan saat "masa berjuang" dahulu. Sehingga saat itu sampai harus diasingkan ke Boven Digul? Apa yang menarik dari situ?

Dari cerita Ayah, kami tahu pentingnya ketaatan kepada Tuhan. Hal itu yang menyebabkan beliau selalu tegar menghadapi cobaan. Sekalipun dibuang ke tempat medannya yang sangat berat, beliau tetap tegar. Dengan selalu membawa buku-buku yang dimiliki, Ayah mampu meramal -bukan lewat klenik, melainkan lewat daya analisis atas hasil bacaannya.
Beliau mengingatkan negara kita ini merupakan negara pengurus bagi rakyatnya yang masih banyak yang tertinggal, bukannya negara kekuasaan yang nantinya malah potensial untuk menimbulkan praktik-praktik yang menyimpang akibat kekuasaan yang cenderung ingin menang.

Setelah Indonesia merdeka, seringkali Bung Hatta "kalah". Itu karena menjadi orang baik memang tidak mudah ditiru. Sebaliknya, kebodohan dan kerakusan cepat sekali menular, bahkan sampai ke tingkat elite. Karena itu beliau saat itu saja sering dilihat sebagai "orang aneh", tidak mau korupsi, tidak berbasa-basi dan punya sifat "sama kata dan perbuatan."
Bagaimana kalau diihat pada zaman ini ?

Pada 1956 Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden. Bisa diceritakan bagaimana persisnya dan apa yang mendasari langkah itu?

Waktu Ayah mengundurkan diri sebagai wakil presiden, saya baru berusia sembilan tahun, Gemala empat tahun, dan Halida baru 11 bulan. Setelah agak besar, saya mengetahui pengunduran diri itu dilakukan karena perbedaan prinsip. Mengundurkan diri dari jabatan wapres memang telah Ayah beritahukan pada Ibu, dan pada diri Ibu sudah terbentuk keyakinan kuat bahwa apa yang dilakukan suaminya adalah hal yang sudah dipikirkan masak-masak dan pasti merupakan keputusan yang tepat.

Karena itu walaupun waktu itu baru berusia 30 tahun, menjadi istri seorang tokoh yang bukan saja dihormati di Tanah Air sebagai orang nomor dua RI melainkan juga dicintai rakyat, Ibu tetap patuh pada keputusan Ayah dan mendukung. Bahkan waktu Bung Karno mengatakan kepada Ibu, "Yuke (nama kecil Rahmi Hatta-Red), bilang dong sama Bung Hatta agar tidak mengundurkan diri." Namun Ibu tetap pada pendiriannya dan mengatakan, "Om, apa yang baik menurut Kak Hatta, saya akan mengikuti." Panggilan "Om" pada Bung Karno adalah karena orang tua ibu saya, atau kakek-nenek saya, keluarga Abdul Rahim, teman baik Bung Karno sehingga Bung Karno telah mengenal ibu saya sejak masih gadis kecil. Beliau suka datang ke rumahnya untuk bertemu dengan kakek-nenek saya dan teman-teman seperjuangannya.

Karena jasa Bung Karno jugalah Ayah bisa mengenal Ibu. Tetapi waktu Ayah mengundurkan diri, saya juga sempat merasa ada rasa takut dari handai taulan dan sanak saudara untuk berhubungan dengan kami. Ya mungkin karena mereka takut dicap berkawan, berhubungan dengan orang yang tidak sepaham atau berseberangan dengan Bung Karno. Selain itu yang saya tangkap saat itu juga konsekuensi masalah ekonomi. Setelah Ayah tidak menjabat, ya banyak keterbatasan karena uang pensiun sangat kecil. Namun saya tidak akan menjelaskan lebih lanjut, nanti dianggap mendramatisasi. Akan tetapi yang jelas kami sekeluarga siap mental menghadapi masa-masa sulit tersebut. Karena pada saat Bung Hatta menjabat pun kami tidak hidup yang berlebihan seperti umumnya pejabat tinggi. Sewaktu kuliah pun saya sudah biasa naik bus kota. Namun di balik ini semua tertanam pendidikan pentingnya menjaga nama baik, menjaga sebuah prinsip di atas segalanya.

*Meutia Farida Hatta Swasono, Bung Hatta, Penerbit Buku Kompas, Oktober 2003

Posting terkait: Profil Keteladanan Bung Hatta


.
◄ Newer Post Older Post ►