Sumber Inspirasi Sosok Anti Korupsi |
Minatnya pada bidang ekonomi, dan juga koperasi, terus terlihat melalui berbagai karangan dan buku. Karenanya, pada tanggal 17 Juli 1953 dalam Kongres Koperasi Indonesia dirinya diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Perhatiannya pada unsur keadilan dalam ekonomi, selain dalam fokusnya pada koperasi, juga terasa dalam kehidupan sehari-hari – dan ciri inilah yang secara konsisten diperlihatkan, hal yang langka di antara para tokoh Indonesia terutama setelah jaman semakin ‘maju.’
27 November 1956, Bung Hatta memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. |
Bersama Bung Karno |
Sikap jujur dan sederhana ia tunjukkan dengan menolak kenaikan uang pensiun yang tidak lagi mampu membiayai keluarganya (dengan istri dan tiga orang anaknya). Bahkan ia juga menolak diberi rumah tambahan yang lebih besar karena takut tak mampu membiayai ongkos perawatan rumah tersebut. Bahkan, World Bank ketika itu pernah menawarkan kedudukan pada Hatta, namun ia tolak.Pada tahun 1965 Hatta “dipaksa” melihat kesedihan yang mendalam dengan jatuhnya ribuan korban pada peristiwa 30 September. Ketika itu, Hatta berharap ada pengadilan yang digelar untuk Soekarno supaya jangan ada tuduhan-tuduhan terhadapnya tanpa tanggung jawab. Pengadilan ini, menurut Hatta, kelak menjadi pelajaran berharga bagi penguasa selanjutnya di Indonesia. Di sini tampak sikap tokoh Indonesia yang juga langka dalam hal niat membatasi korupsi kekuasaan, sikap yang tampaknya tidak “menurun” pada para penguasa negeri ini, mengingat resistensi yang tinggi terhadap gagasan dan upaya membawa petinggi ke pengadilan.
Berbagai buku dan sumber lain tentang Bung Hatta menunjukkan harapannya yang besar di awal masa pemerintahan Soeharto. Namun juga tampak kekhawatirannya pada perkembangan peran militer dengan jargon dwifungsinya. Hatta juga menekankan perlunya sikap dan cara pihak sipil berpolitik dengan lebih bertanggung jawab.
Soeharto |
Pada tahun 1970 Hatta diangkat sebagai Penasehat Presiden Soeharto dan Penasehat Komisi IV, yang diketuai oleh Wiloto. Pengangkatan ini dimaksudkan untuk melakukan pemberantasan korupsi. Kasus yang mendapatkan saran Hatta antara lain adalah yang menyangkut Pertamina – yang isinya masih belum diketahui secara publik. Rupanya dari bahan-bahan yang ada Hatta telah menangkap gelagat bahwa korupsi sudah menjadi budaya. Seingat Halida, ayahnya tak pernah menerima “tamu khusus”, setiap tamu yang akan datang ke rumahnya selalu ditanya maksud dan tujuannya terlebih dahulu. Hatta lebih sering menerima tamunya di kantor, karena itu “filter” seperti inilah yang membedakan ayahnya dengan banyak pejabat di Indonesia
Emil Salim pernah mengatakan, saat ini tipe kepemimpinan Bung Hatta sangat dibutuhkan. Karena hanya dirinya yang memiliki ciri kepemimpinan berupa penyerahan diri secara total, jujur dan bersih, berkomitmen penuh pada perbaikan nasib dan tingkat hidup rakyat kecil, menegakkan dan menjalankan secara konsekuen nilai-nilai demokrasi kerakyatan, serta mengutamakan rasio ketimbang emosi dan karena itu gandrung pada usaha pendidikan rakyat ketimbang agitasi membangkitkan emosi rakyat .
Kecemasan Bung Hatta pada gelagat korupsi ternyata menjadi kecemasan generasi-generasi berikutnya; korupsi menjadi sumber penyakit bangsa ini, sampai kita mendapat predikat salah satu bangsa terkorup di dunia. Sosok Bung Hatta layak menjadi inspirasi kita, agar kita tidak putus harapan akan adanya pejabat yang dapat konsisten menjalankan sumpah jabatannya serta mandat yang dipercayakan rakyat padanya.
*Sumber : Deliar Noor, Hati Nurani Bangsa - Tokoh Indonesia, dari Makam Bung Hatta - Seratus Tahun Bung Hatta - Berbagai sumber media - Wawancara Halida N.Hatta Jusuf - Wawancara Meuthia Hatta.
Contoh Keteladanan
Bung Hatta dan Kisah Sepatu Bally
Salah satu kisah mengugah dari Bung Hatta yang dikenang masyakarat adalah kisah tentang sepatu Bally. Pada tahun 1950-an, Bally adalah merek sepatu bermutu tinggi yang berharga mahal. Bung Hatta, ketika masih menjabat sebagai wakil presiden, berniat membelinya. Untuk itulah, maka dia menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya.
The Bally Shoe, dari Swiss berdiri sejak 1851 |
Andai saja Bung Hatta mau memanfaatkan posisinya saat itu, sebenarnya sangatlah mudah baginya untuk memperoleh sepatu Bally, misalnya dengan meminta tolong para duta besar atau pengusaha yang menjadi kenalannya. Barangkali bukan hanya sepatu merek Bally yang mampu dibelinya. Bisa saja ia memiliki saham di pabrik sepatu dan berganti-ganti sepatu baru setiap hari. Tetapi, ia tidak melakukan semua itu. Ia hanya menyelipkan potongan iklan sepatu Bally yang tidak terbelinya hingga akhir hayat. Bila dilihat pada kondisi sekarang, seharusnya masa lalu juga demikian, tentu hal ini merupakan sebuah tragedi.
Seorang mantan wakil presiden, orang yang menandatangani proklamasi kemerdekaan, orang yang memimpin delegasi perundingan dengan Belanda –negara yang pernah menjajahnya—hingga Belanda mau mengakui kedaulatan Indonesia, ternyata tidak mampu hanya untuk sekadar membeli sepasang sepatu bermerek terkenal. Meski memiliki jasa besar bagi kemerdekaan negeri ini, Bung Hatta sama sekali tidak ingin meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri dari orang lain atau negara.
Menurut Jacob Utama, Pemimpin Umum Harian Kompas, segala yang dilakukan Bung Hatta sudah mencerminkan bahwa dia tidak hanya jujur, namun juga uncorruptable, tidak terkorupsikan. Kejujuran hatinya membuat dia tidak rela untuk menodainya dengan melakukan tindak korupsi. Mungkin banyak masyarakat berkomentar, “Iya, lha wong sepatu Bally harganya-kan selangit.”
Bung Hatta & Isteri |
Sampai-sampai, pernah suatu saat Bung Hatta kaget melihat tagihan listrik, gas, air, dan telepon yang harus dibayarnya, karena mencekik leher. Menghadapi keadaan itu, Bung Hatta tidak putus asa. Dia semakin rajin menulis untuk menambah penghasilannya. Baginya, biarpun hasilnya sedikit, yang penting diperoleh dengan cara yang halal. Itu sebabnya, mengapa Bung Hatta mengembalikan sisa uang yang diberikan pemerintah untuk berobat ke Swedia. Itu dilakukan, karena sepulang dari Swedia Bung Hatta mendapati bahwa uang tersebut masih bersisa, dan dia merasa itu bukan haknya.Kisah Bung Hatta dan Mesin Jahit. Sewaktu Bung Hatta masih menjadi orang nomor dua di Republik ini, ternyata untuk membeli sebuah mesin jahit pun tidak bisa dilakukan begitu saja. Istri beliau - Rahmi Hatta- harus menabung sedikit demi sedikit dengan cara menyisihkan sebagian dari penghasilan yang diberikan Bung Hatta.
Namun rencana membeli terpaksa ditunda, karena tiba-tiba saja pemerintah waktu itu mengeluarkan kebijakan sanering (pemotongan nilai uang) dari Rp 100 menjadi Rp 1. Akibatnya, nilai tabungan yang sudah dikumpulkan Rahmi menurun dan makin tidak cukup untuk membeli mesin jahit.
Karena ikut terkena dampak adanya keputusan sanering tersebut, Rahmi kemudian bertanya pada suaminya kenapa tidak segera memberi tahu akan ada sanering. Dengan kalem Bung Hatta menjawab, itu rahasia negara jadi tidak boleh diberitahukan, sekalipun kepada keluarga sendiri.
Sungguh mengagumkan. Apa yang dilakukan Bung Hatta adalah karena dia ingin menjaga nama baik. Bukan hanya dirinya sendiri, tetapi nama baik bangsa dan negara. Dalam konteks itu pula, maka Bung Hatta pun tidak berusaha bekerja di berbagai perusahaan meski sebenarnya sangat memungkinkan. Dalam pandangannya, jika dia bekerja pada perusahaan, maka citra seorang mantan wakil presiden akan runtuh. Juga, jika dia menjadi seorang konsultan, maka sebenarnya dirinya sedang terjebak ke dalam bias persaingan usaha yang sarat dengan kepentingan.
Pemikiran yang luar biasa itulah yang dijalankan oleh Bung Hatta. Bung Hatta lebih memilih hidup sederhana demi menjaga nama baik bangsa Indonesia. Bung Hatta telah mengorbankan dirinya bagi negeri ini. Bung Hatta begitu hati-hati menggunakan kekuasaan.
Biodata dari Mohammad Hatta
Nama : Dr. Mohammad Hatta (Bung Hatta)
Lahir : Bukittinggi, 12 Agustus 1902
Wafat : Jakarta, 14 Maret 1980
Istri : (Alm.) Rahmi Rachim
Anak : Meutia Farida, Gemala, Halida Nuriah
Gelar Pahlawan :
- Bapak Koperasi Indonesia pada 17 Juli 1953
- Pahlawan Proklamator RI tahun 1986
Pendidikan :
- Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi (1916)
- Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang (1919)
- Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang), Jakarta (1921)
- Gelar Drs dari Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)
- Bendahara Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919)
- Bendahara Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921)
- Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda (1925-1930)
- Wakil delegasi Indonesia dalam gerakan Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, Berlin (1927-1931)
- Ketua Panitia (PNI Baru) Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)
- Kepala Kantor Penasihat pada pemerintah Bala Tentara Jepang (April 1942)
- Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Mei 1945)
- Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (7 Agustus 1945)
- Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945)
- Wakil Presiden Republik Indonesia pertama (18 Agustus 1945)
- Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (Januari 1948 - Desember 1949)
- Ketua Delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan menerima penyerahan kedaulatan dari Ratu Juliana (1949)
- Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kabinet Republik Indonesia Serikat (Desember 1949 - Agustus 1950)
- Dosen di Sesko Angkatan Darat, Bandung (1951-1961)
- Dosen di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1954-1959)
- Penasihat Presiden dan Penasihat Komisi IV tentang masalah korupsi (1969)
- Ketua Panitia Lima yang bertugas memberikan perumusan penafsiran mengenai Pancasila (1975)
Foto-foto Bersama Keluarga
Sang isteri, Siti Rahmiati Hatta |
.
.