Anda ingin melihat buaya hidup sebanyak 2.700 ekor, datanglah ke lokasi penangkaran buaya milik Lo Than Muk, 80, di Asam Kumbang, Kecamatan Medan Selayang, Sumatera Utara. Tidak hanya dilihat dari jumlahnya yang cukup banyak, di penangkaran itu terdapat buaya yang usianya 32 sampai 48 tahun. WASPADA Online
Sangking banyaknya jumlah buaya itu, lokasi penangkaran tidak cukup menghidupinya. Pemiliknya juga tidak tahan membiayai makanannya jika buaya itu terus berkembang biak. Dengan terpaksa pemiliknya menggagalkan setiap telur buaya yang akan jadi anak.
Konon lokasi itu menjadi salah satu tempat wisata andalan di Medan selain Masjid Raya, Istana Maimun, Kolam Sri Deli dll, tapi sepertinya bukan. Pasalnya, jika tempat wisata andalan Medan tidak seperti itu pengelolaannya. Tentu Pemko Medan memolesnya melalui anggaran yang tersedia untuk memacu wisatawan lokal dan mancanegara.
Tapi anehnya, di sana terdapat gapura berlogo Pemko Medan di pintu masuk dari jalan besar (ring road). Kemudian, masuk ke rumah atau penangkaran juga berdiri gapura bahkan ada bertuliskan Dinas Pariwisata Medan pada plang bergambar buaya. Tidak ada lagi cat melekat pada dinding gapura itu. "Pokoknya prihatin," kata pengunjung.
Sekali lagi, Anda pasti tidak percaya bahwa itu objek wisata. Penangkarannya hanya di rumah penduduk biasa saja, dan cukup sederhana sebagaimana sederhananya rumah tangga keturunan Tionghoa ini bersama istrinya Lim Hiu Cu dan dua anaknya Robert Lo, 28, dan Robin, 26.
Keunggulannya, tempat tinggalnya luas. Di bagian belakang rumah Lo Than Muk ada dua hektare tanah. Olehnya dibagi dua dibangun tempat penangkaran sebanyak 78 bak dan satu tempat semacam danau; tempat buaya secara leluasa hidup di air dan naik ke darat. Agar aman, Lo Than Muk membangun tembok panjang di bagian belakang dan pagar serta jaring-jaring.
"Ibaratnya kita melihat tempat ternaknya bukan menjadi wisata," kata Rosmaini, 45, warga Binjai ketika berkunjung ke sana, Sabtu (20/10), membawa anak dan saudaranya.
Setiap Lebaran, penangkaran buaya ini dikunjunginya walau lokasinya sangat sederhana karena jumlah buayanya cukup banyak, dan dapat disaksikan dengan mata telanjang dari jarak dekat.
Selain itu harga masuk murah. Di Indonesia bahkan luar negeri, mungkin hanya di Medan ini terdapat penangkaran buaya yang jumlahnya mencapai 2.700 ekor. "Kita sedih kenapa tempat ini tidak dikelola Pemko Medan dengan baik bekerjasama dengan pemiliknya."
Sesederhananya lokasi penangkaran ini, lanjutnya, masih ada juga orang mengunjunginya. Bagaimana kalau ditata dengan baik, tentu semakin ramai dan menarik. Begitu pun, pengunjung merasa puas sekembali dari lokasi itu meski seperti masuk ke lokasi ternak bukan wisata.
Banyak kelebihan di balik kesederhanaan pengelolaan penangkaran buaya ini yakni pemiliknya cukup serasi memelihara buaya mencapai ribuan, padahal dilihat dari kondisinya cukup tradisional dan biaya pas-pasan.
Dipada-padakan
Lo Than Muk mengatakan, meski kondisi penangkaran sangat prihatin dia tetap memberi makan 2.700 ekor buayanya mulai dari yang tua sampai anak-anaknya. Dia harus menyediakan 1 ton per hari bahan makanan seperti bebek, ayam dan telur. Biaya makanan, perawatan dan gaji penjaga buaya dipada-padakan dari uang masuk pengunjung Rp5000 untuk dewasa dan anak-anak Rp2500 per kepala.
"Uang dari pengunjung masih kurang, sehingga mau tak mau mengurangi makanan buaya yang seharusnya satu ton. Kalau dapat banyak dari tiket pengunjung baru bisa diberi makanan 1 ton," katanya.
Menurut Lo Than Muk, sekiranya dari uang pengunjung banyak didapat, dia bisa membuat lebih menarik penangkaran itu tanpa bantuan pemerintah. Tapi, uang dari situ tidak cukup sehingga penangkaran itu berkembang apa adanya. Terpenting buayanya dan keluarganya bisa hidup dan tetap dapat makan.
Lo Than Muk lahir di Aceh Timur pada 11 Maret 1928 ini dibantu istrinya dan dua anaknya laki-laki mengelola penangkaran itu, syukurlah bisa hidup juga dan tetap ada pengunjung walau jumlahnya sudah jauh berkurang sejak pasca 1998. Dahulu turis mancanegara berdatangan dan memberi dukungan karena penangkaran itu mampu menghidupkan ribuan ekor buaya. Karena ketertarikan mencapai ribuan ekor, para turis tetap mengunjungi lokasi itu hingga kemarin.
Belum ada bantuan
Menurut Lo Than Muk, penangkaran buaya ini pertama dipoles pada masa kepemimpinan Walikota Medan Bachtiar Djafar dengan menggunakan APBD, setelah itu tidak pernah lagi. Dari situ, nama penangkaran ini terbenam seiring dengan kondisinya sekarang. Dari situ Lo Than Muk malu mengatakan penangkaran ini objek wisata andalan.
Sesekali Lo Than Muk ketika disinggung perhatian Pemko Medan terhadap penangkaran buaya itu, dia mengaku sedih. Janji Pemko mengucurkan dana memoles penangkaran ini menjadi objek wisata yang sebenarnya, tidak juga ada.
Sebelumnya, Kadis Pariwisata Medan Syarifuddin, SH menyatakan, Penangkaran Buaya Asam Kumbang tetap jadi objek wisata Medan, dan pihaknya telah menganggarkan dana untuk penataan beberapa objek wisata termasuk Istana Maimon dan Penangkaran Buaya Asam Kumbang.
"Sampai sekarang belum ada Pemko menata penangkaran ini, padahal berulang kali dia mengikuti rapat bulan lalu membicarakan pengelolaannya. Tapi tidak ada realisasinya. Sampai akhirnya, saya yang letih," katanya seraya menambahkan padahal sudah memberi rincian kepada dinas pariwisata hal-hal mana saja yang perlu diperbaiki.
Tidak patah semangat
Namun Lo Than Muk tidak patah semangat dia tetap mengelola penangkarannya walau dengan biaya terbatas. Salah satu caranya, Lo Than Muk tidak lagi menambah jumlah buaya dengan cara menggagalkan telur-telur untuk jadi anak.
Dia tetap termotivasi mempertahankan penangkaran itu karena banyak turis mengatakan setiap kali berkunjung, di dunia pun tidak banyak yang menyediakan penangkaran buaya mencapai 2.700 ekor seperti di Asam Kumbang ini.
Ada beberapa tempat penangkaran buaya di Singapura dan negara lain tidak sebanyak di Asam Kumbang, tetapi dengan jumlah buaya yang sedikit pengelolanya menarik tarif mahal bagi pengunjung. "Dengan 2.700 ekor buaya kita tetap menarik uang masuk murah."
Lo Than Muk ternyata masih bisa tersenyum ketika disinggung satwa banyak mati di Kebun Binatang Medan (KBM) dikelola terakhir dialami gajah besar. Padahal, lanjutnya, KBM dikelola dengan anggaran Pemko.
Jadi andalan
Dia juga masih bisa tertawa ketika mengenang cerita hidupnya yang pahit berhadapan dengan zaman penjajahan Belanda dan Jepang dan awal membuka penangkarannya. Lo Than Muk tidak menyangka sama sekali, penangkaran buayanya berkembang menjadi 2.700 ekor. Awalnya dia hanya iseng memelihara buaya kecil 12 ekor yang didapat dari sungai-sungai. "Dahulukan, buaya mudah ditemukan di sungai-sungai di Medan, sekarang saja tidak."
Dari situ kemudian buayanya terus berkembang biak dan akhirnya dia buka penangkaran 1959 dan sempat tenar sebelum tahun 1998 sebagai objek wisata andalan Medan.