Jumat, 17 Agustus 2012

Ini dia Wajah Mumi Ratusan Tahun di Wamena, Papua

Wim Motok Mabel. Itulah sebutan mumi yang disakralkan oleh warga Distrik Kerulu, Lembah Baliem. Mumi berusia 278 tahun ini diawetkan dengan cara tradisional. Mumi ini jadi magnet terkuat bagi wisatawan di Papua.

Wim Motok Mabel, mumi berusia 278 tahun di Wamena

Saat warga Distrik Kerulu mengeluarkan Wim Motok Mabel dari dalam honai, mumi itu tampak begitu ringkih. Tubuhnya berjongkok memeluk lututnya. Kepalanya menengadah, tulangnya berwarna hitam kecoklatan. Dua lubang mata seakan menatap kosong ke angkasa. Mulutnya menganga, kedua tangannya memegang lutut yang telah keropos dimakan usia.

Hari itu, Jumat (10/8/2012), adalah pertama kalinya saya melihat mumi yang diawetkan secara tradisional. Wim Motok Mabel adalah satu dari dua mumi yang paling terkenal di Lembah Baliem, Papua. Perjalanannya ke Distrik Kurulu memakan waktu 30 menit dari Kota Wamena.




Dalam bahasa lokal, Wim berarti perang. Motok berarti panglima, dan Mabel adalah nama aslinya. Ini adalah mumi seorang panglima perang yang disegani di seluruh lembah. Di leher mumi itu terdapat kalung dari gabungan tali. Untuk memastikan usianya, Anda bisa menghitung jumlah tali yang terikat di leher sang mumi.

Warga yang tinggal di honai (rumah adat Papua) bersama sang mumi adalah keturunan ke-7. Ia menjelaskan, sang mumi diawetkan dengan cara diasap sambil dibalur lemak babi.


Panglima Perang bernama Mabel

"Waktu itu dia (sang mumi-red) tahu, kalau diawetkan akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan hidup keturunannya. Juga selalu menang dalam perang," tambahnya.

Mumi diasap selama 200 hari di dalam honai khusus, jauh dari area pemukiman. Sebelum dipindahkan ke rumah keturunannya, seluruh warga desa melangsungkan upacara khusus yang disebut Ap Ako. Pemeliharaan mumi dengan kembali diasap masih dilakukan hingga saat ini.


Mumi saat baru dikeluarkan dari dalam honai

Masyarakat Distrik Kerulu tahu betul bagaimana memanfaatkan mumi tersebut. Sambil dijaga dengan baik, peninggalan leluhur itu juga menjadi sumber ekonomi. Hal itu juga berdampak bagi saya dan rombongan yang datang hari itu. Untuk foto sepuasnya, kami dipatok biaya Rp 300.000.

Warga setempat, yang masih menggunakan koteka dan rok berbahan jerami, juga menjual kerajinan kepada wisatawan. Harganya sedikit lebih mahal dibandingkan tempat lain. Anda boleh menolaknya, atau justru membeli untuk kesejahteraan masyarakat setempat.


Sumber : Detik
◄ Newer Post Older Post ►