VIVAnews - Berawal dari cita-cita ingin memiliki Puskesmas di desanya, Bidan Eulis Rosmiati dari Desa Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa Barat mengabdikan diri. Sedih melihat kondisi desa yang terpencil, minim infrastruktur, buruknya jalan dan sanitasi, serta kurangnya pengetahuan kesehatan warga desa, membuat sang Bidan tergerak untuk melakukan perubahan.
Meski profesinya sebagai bidan desa, ia tak sekedar membantu proses persalinan, tetapi juga membangun desa dengan program hasil kreasinya. Tempat tinggalnya yang berada di pelosok dengan 4.438 penduduk, rata-rata masih hidup di bawah garis kemiskinan. Minimnya pendapatan, membuat mereka sulit menjangkau pelayanan kesehatan yang layak.
Meski profesinya sebagai bidan desa, ia tak sekedar membantu proses persalinan, tetapi juga membangun desa dengan program hasil kreasinya. Tempat tinggalnya yang berada di pelosok dengan 4.438 penduduk, rata-rata masih hidup di bawah garis kemiskinan. Minimnya pendapatan, membuat mereka sulit menjangkau pelayanan kesehatan yang layak.
Jarak yang jauh menuju Puskesmas seringkali menjadi hambatan warga untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Meski pemerintah memberikan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), serta jaminan persalinan (Jampersal) tetap saja, warga desa Ujung Genteng, Sukabumi kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan. Pasalnya, jarak dari desa menuju puskemas terdekat butuh transportasi yang harus dibayar dengan biaya mahal.
“Jarak puskesmas terdekatnya 30 km, harus ditempuh dalam waktu satu jam pada siang hari, ongkosnya Rp50 ribu. Dengan kondisi seperti ini banyak warga yang akan kesulitan mendapatkan pertolongan kesehatan darurat,” katanya saat ditemui dalam pemberian penghargaan Sang Teladan Kesehatan di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Para warga yang mayoritas berpenghasilan minim sebagai buruh tani dan nelayan makin sulit mendapatkan bantuan pelayanan kesehatan jika malam sudah tiba. Kondisi penerangan jalan yang tidak memadai serta medan jalan yang kasar, membuat ongkos transportasi semakin mahal. Selain di desanya, Ujung Genteng, masih ada 3 desa lagi di daerahnya yang bernasib sama.
Menurutnya, rumah sakit paling besar, Rumah Sakit Jampang, jaraknya cukup jauh, 50-60 kilometer dari desanya. Rumah Sakit ini pun belum lama berdiri. Sebelumnya, warga harus menempuh perjalanan jauh menuju rumah sakit di wilayah Sekar Wangi, Sukabumi, jaraknya mencapai 160 kilometer.
Bahkan sering warga desa Ujung Genteng mendapat penolakan perawatan dari rumah sakit karena jumlah pasiennya membludak. Sehingga, tidak ada tempat untuk menampung dan merawatnya. Maka sering pula warga desa tersebut pergi ke Bogor hanya untuk berobat. Biaya transportasi yang mereka habiskan bisa mencapai Rp1 juta pulang pergi.
Untuk itulah, beberapa program diciptakan Eulis di desa tempat tinggalnya. Mulai dari membentuk kelompok arisan WC sejak 1998 serta kredit WC pada 2011 hanya untuk meningkatkan jumlah WC di tiap-tiap RT. Eulis juga menciptakan program arisan sebagai dana cadangan saat diperlukan mendadak untuk pengobatan dan biaya persalinan.
Nama berbagai program arisannya pun cukup unik, disesuaikan dengan kemampuan dan mata pencaharian masing-masing penduduk di desa Ujung Genteng. Program tersebut antara lain, 'Seliber' (seliter beras), yaitu pengumpulan beras bagi para warga yang bekerja sebagai petani dengan cara mengumpulkan 2 sendok beras setiap harinya, pagi dan sore. Hingga tiap bulannya diperoleh 60 sendok beras , yang setara dengan seliter beras. Beras ini nantinya dijual pada tengkulak dan uangnya disimpan sebagai biaya cadangan darurat untuk pengobatan dan persalinan.
“Istilahnya, para petani yang butuh uang untuk berobat nanti tinggal klaim,” katanya.
Ada lagi program yang diberi nama Meronce Kasih. Program ini khusus untuk nelayan. Mereka diminta mengumpulkan satu kilo ikan dengan kualitas paling rendah setiap pergi melaut. Sama seperti hasil penjualan beras, uangnya pun akan digunakan untuk kepentingan darurat kesehatan.
Bahkan mereka juga memiliki jaminan asuransi kesehatan yang disebut 'Askes Lembur'. Yakni asuransi kesehatan yang hanya berlaku di lembur (kampung). Ada lagi program Lima Ribu Kasih, program ini diperuntukkan bagi para buruh penambang pasir untuk mengumpulkan uang sejumlah Rp5.000 setiap bulannya. Semua dana ini sebagai dana darurat kesehatan.
Program lainnya, 'Sagandu Saminggu' (gandu adalah takaran gula aren), yaitu pengumpulan sisa kerak pada cetakan gula aren. Dari kegiatan ini dapat dikumpulkan sekitar 4 gandu (sekitar 2 kilogram) setiap bulannya.
Tanpa melupakan tugas utamanya sebagai bidan, Eulis juga senantiasa memperhatikan kesehatan dan kesiapan ibu hamil agar dapat menjalani persalinan yang sehat dan selamat. Eulis juga menggagas program Rumah Singgah, yakni pemberdayaan rumah warga sebagai tempat persalinan yang layak untuk ibu bersalin.
Tidak mudah bagi Eulis awalnya membujuk warga menyukseskan program-programnya. Berkat pendekatan melalui acara silaturahmi desa seperti pengajian ibu-ibu dan arisan, programnya berjalan lancar hingga saat ini. Ia pun mengoptimalkan pengoperasian siskamling, untuk siaga membantu para ibu hamil yang hendak melahirkan.
Kepercayaan masyarakat desa akan hal-hal mistis pun awalnya menyulitkan Eulis melancarkan program-programnya, terutama saat menolong persalinan para ibu hamil. Rata-rata wanita hamil di desa sangat percaya akan jampai dari para paraji (dukun beranak), karena mereka memiliki keyakinan bahwa wanita hamil merupakan sosok yang kotor dan banyak disukai oleh makhluk halus. Sehingga, butuh bantuan paraji untuk melancarkan persalinan agar ibu dan bayi sehat dan selamat.
Dulu, mereka tidak percaya dengan pertolongan persalinan yang dilakukan para medis seperti bidan. Untuk itu Eulis juga merangkul para bidan desa untuk membantu menolong persalinan warga. Kini, adanya Rumah Singgah pun mempermudah Eulis melaksanakan persalinan yang sehat.
Berkat program-programnya yang dikenal hingga ke luar pelosok, desa Ujung Genteng, Sukabumi pun dikenal banyak orang. Bahkan Gubernur sempat berkunjung dan menjanjikan akan membangun puskesmas terdekat agar warga desa di wilayah tersebut mendapatkan pelayanan kesehatan dengan mudah tanpa harus mengeluarkan biaya mahal untuk transportasi.
“Saya hanya ingin, janji Gubernur membangun Puskesmas segera terwujud, kami masyarakat desa Ujung Genteng dan sekitarnya, sangat menantikan adanya sarana kesehatan yang dekat dengan desa kami,” katanya.
Karena keberhasilannya meningkatkan kesehatan masyarakat desa, Eulis mendapat penghargaan dari program kesehatan yang digalang oleh Decolgen. Ia pun kini menjadi salah satu penyandang gelar Sang Teladan Kesehatan.
Selain Eulis ada tujuh orang penyandang gelar Sang Teladan kesehatan lainnya, yakni drg. HR Anto Bagus, dr. Michael Leksodimulyo, MBA, M.Kes, drg. Salvi Raini, Non Rawung dan dr. Aisah Dahlan. Serta, dua orang berlatar belakang non medis, Widarti dan Tiara Savitri. (umi)
Menurutnya, rumah sakit paling besar, Rumah Sakit Jampang, jaraknya cukup jauh, 50-60 kilometer dari desanya. Rumah Sakit ini pun belum lama berdiri. Sebelumnya, warga harus menempuh perjalanan jauh menuju rumah sakit di wilayah Sekar Wangi, Sukabumi, jaraknya mencapai 160 kilometer.
Bahkan sering warga desa Ujung Genteng mendapat penolakan perawatan dari rumah sakit karena jumlah pasiennya membludak. Sehingga, tidak ada tempat untuk menampung dan merawatnya. Maka sering pula warga desa tersebut pergi ke Bogor hanya untuk berobat. Biaya transportasi yang mereka habiskan bisa mencapai Rp1 juta pulang pergi.
Untuk itulah, beberapa program diciptakan Eulis di desa tempat tinggalnya. Mulai dari membentuk kelompok arisan WC sejak 1998 serta kredit WC pada 2011 hanya untuk meningkatkan jumlah WC di tiap-tiap RT. Eulis juga menciptakan program arisan sebagai dana cadangan saat diperlukan mendadak untuk pengobatan dan biaya persalinan.
Nama berbagai program arisannya pun cukup unik, disesuaikan dengan kemampuan dan mata pencaharian masing-masing penduduk di desa Ujung Genteng. Program tersebut antara lain, 'Seliber' (seliter beras), yaitu pengumpulan beras bagi para warga yang bekerja sebagai petani dengan cara mengumpulkan 2 sendok beras setiap harinya, pagi dan sore. Hingga tiap bulannya diperoleh 60 sendok beras , yang setara dengan seliter beras. Beras ini nantinya dijual pada tengkulak dan uangnya disimpan sebagai biaya cadangan darurat untuk pengobatan dan persalinan.
“Istilahnya, para petani yang butuh uang untuk berobat nanti tinggal klaim,” katanya.
Ada lagi program yang diberi nama Meronce Kasih. Program ini khusus untuk nelayan. Mereka diminta mengumpulkan satu kilo ikan dengan kualitas paling rendah setiap pergi melaut. Sama seperti hasil penjualan beras, uangnya pun akan digunakan untuk kepentingan darurat kesehatan.
Bahkan mereka juga memiliki jaminan asuransi kesehatan yang disebut 'Askes Lembur'. Yakni asuransi kesehatan yang hanya berlaku di lembur (kampung). Ada lagi program Lima Ribu Kasih, program ini diperuntukkan bagi para buruh penambang pasir untuk mengumpulkan uang sejumlah Rp5.000 setiap bulannya. Semua dana ini sebagai dana darurat kesehatan.
Program lainnya, 'Sagandu Saminggu' (gandu adalah takaran gula aren), yaitu pengumpulan sisa kerak pada cetakan gula aren. Dari kegiatan ini dapat dikumpulkan sekitar 4 gandu (sekitar 2 kilogram) setiap bulannya.
Tanpa melupakan tugas utamanya sebagai bidan, Eulis juga senantiasa memperhatikan kesehatan dan kesiapan ibu hamil agar dapat menjalani persalinan yang sehat dan selamat. Eulis juga menggagas program Rumah Singgah, yakni pemberdayaan rumah warga sebagai tempat persalinan yang layak untuk ibu bersalin.
Tidak mudah bagi Eulis awalnya membujuk warga menyukseskan program-programnya. Berkat pendekatan melalui acara silaturahmi desa seperti pengajian ibu-ibu dan arisan, programnya berjalan lancar hingga saat ini. Ia pun mengoptimalkan pengoperasian siskamling, untuk siaga membantu para ibu hamil yang hendak melahirkan.
Kepercayaan masyarakat desa akan hal-hal mistis pun awalnya menyulitkan Eulis melancarkan program-programnya, terutama saat menolong persalinan para ibu hamil. Rata-rata wanita hamil di desa sangat percaya akan jampai dari para paraji (dukun beranak), karena mereka memiliki keyakinan bahwa wanita hamil merupakan sosok yang kotor dan banyak disukai oleh makhluk halus. Sehingga, butuh bantuan paraji untuk melancarkan persalinan agar ibu dan bayi sehat dan selamat.
Dulu, mereka tidak percaya dengan pertolongan persalinan yang dilakukan para medis seperti bidan. Untuk itu Eulis juga merangkul para bidan desa untuk membantu menolong persalinan warga. Kini, adanya Rumah Singgah pun mempermudah Eulis melaksanakan persalinan yang sehat.
Berkat program-programnya yang dikenal hingga ke luar pelosok, desa Ujung Genteng, Sukabumi pun dikenal banyak orang. Bahkan Gubernur sempat berkunjung dan menjanjikan akan membangun puskesmas terdekat agar warga desa di wilayah tersebut mendapatkan pelayanan kesehatan dengan mudah tanpa harus mengeluarkan biaya mahal untuk transportasi.
“Saya hanya ingin, janji Gubernur membangun Puskesmas segera terwujud, kami masyarakat desa Ujung Genteng dan sekitarnya, sangat menantikan adanya sarana kesehatan yang dekat dengan desa kami,” katanya.
Karena keberhasilannya meningkatkan kesehatan masyarakat desa, Eulis mendapat penghargaan dari program kesehatan yang digalang oleh Decolgen. Ia pun kini menjadi salah satu penyandang gelar Sang Teladan Kesehatan.
Selain Eulis ada tujuh orang penyandang gelar Sang Teladan kesehatan lainnya, yakni drg. HR Anto Bagus, dr. Michael Leksodimulyo, MBA, M.Kes, drg. Salvi Raini, Non Rawung dan dr. Aisah Dahlan. Serta, dua orang berlatar belakang non medis, Widarti dan Tiara Savitri. (umi)