Dalam bahasa kaum quality management, semua kejadian diatas disebut sebagai defect atau error. Dan sungguh tak ada yang lebih bikin bete dibanding membeli produk atau jasa yang belum lama dipakai sudah macet. Disinilah kemudian pendekatan Six Sigma dianggap sebagai salah satu senjata ampuh untuk menghindari kegagalan mutu semacam itu.
Lalu apa sebenarnya makna six sigma itu? Arti ringkasnya adalah Anda hanya melakukan defect sebanyak 3,4 (tiga koma empat) kali per satu juta kejadian. Dengan kata lain, dari 1 juta transaksi ATM, yang gagal tak lebih dari 3,4 kali. Atau Anda naik kereta api bolak balik Jakarta Bandung sebanyak 1 juta kali, yang macet di tengah jalan hanya 3,4 kali (aduh, kenyataannya tahu sendirilah). Atau di kantor Anda mengolah data keuangan atau data karyawan sejumlah 1 juta item data, yang salah hanya 3,4 kali.
Tingkat akurasi six sigma memang mendekati kesempurnaan dengan level yang amat mengesankan (yang bisa 100% sempurna sih cuman malaikat). Dalam persentase, angka kesalahan 3,4 per 1 juta itu sebanding dengan 99,9997% sempurna. Jadi bukan 99 % doang, tapi ada 99% koma sekian, sekian.
Mungkin Anda bisa bilang mutu produk perusahaan Anda sudah bagus. Defect rate-nya hanya 1 %. Angka 1 % kelihatan sangat kecil, tapi kalau dibandingkan dengan 1 juta kejadian, itu artinya kegagalan produk Anda = 10 ribu kali. Sorry kalau begitu, perusahaan Anda akan cepat bangkrut karena kalah bersaing.
Tahapan dalam melakukan six sigma sendiri sejatinya tak beda—beda jauh dengan sistem total quality management yang sudah sangat terkenal itu. Pada tahapan pertama, kita mesti mendefenisikan proses apa yang mau disempurnakan kinerjanya. Ambil misal, proses pelayanan klaim biaya pengobatan karyawan; yang sasaran kinerjanya ditetapkan harus tuntas dalam waktu 2 hari kerja (omong-omong berapa hari bagian HRD perusahaan Anda mengurus klaim biaya pengobatan karyawan? 5 hari, 10 atau 30 hari baru kelar?) Berdasar prinsip six sigma, maka tingkat ketepatan waktu seusai standard 2 hari kerja itu haruslah sesuai 99,9997%. Tidak boleh kurang.
Tahapan berikutnya adalah mengukur (measure) kinerja saat ini. Ternyata dari proses pengukuran yang didapat, tingkat ketepatan waktunya hanya 80 % dari standard yang ditetapkan atau masih jauh dari level six sigma.
Jika demikian, maka dalam tahapan berikutnya adalah melakukan langkah analyze and improve. Segala aspek dianalisa mengapa pencapaiannnya baru bisa 80% : apakah karena prosedur yang bertele-tele; atau karena ndak punya sistem informasi yang canggih; atau lebih karena kinerja orang-orang HRD yang lelet bin tulalit.
Setelah ditemukan akar permasalahannya, maka dilakukan proses improve untuk meningkatkan kinerja secara dramatik – sehingga perlahan bisa meraih angka six sigma atau sesuai 99,9997 %.
Tahapan terakhir adalah melakukan control; atau mengendalikan proses kerja yang telah di-improve. Tujuannya adalah agar tingkat kinerja yang makin sempurna itu tidak menurun lagi dikemudian hari. Syukur-syukur justru terus meningkat akurasinya.
Demikianlah tahapan kunci yang mesti dilalui untuk merajut kesempurnaan melalui metode six sigma. Dalam sirkuit persaingan yang kerap membikin banyak perusahaan terkaing-kaing, standar mutu nomer satu adalah sebuah pilihan yang tak terelakkan. Dan metode six sigma adalah satu kunci untuk membantu kita tiba di garis finish persaingan itu dengan selamat serta menjadi sang pemenang.
Dan bukan tiba di garish finish dengan termehek-mehek lantaran mutu produk atau layanan kita selalu berantakan nan amburadul.
* Written by Yodhia Antariksa