Minggu, 27 Mei 2012

Redefinisi Teori Among Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara selaku tokoh pendidikan Indonesia berpendapat bahwa perkembangan anak didik mulai dari lahir hinga dewasa dibagi atas fase-fase. Ada fase yang merupakan periode amat penting bagi perkembangan badan dan pandca indra. Ada fase yang merupakan masa perkembangan untuk daya-daya jiwa terutama pikiran anak, dan ada pula fase tentang penyesuaian diri dengan masyarakat di mana anak mengambil bagian sesuai dengan cita-cita hidupnya. Adanya periodisasi masa perkembangan itu juga kita temui pula pada teori-teori yang dikemukakan oleh ahli lain.
Namun pada intinya teori apapun tentang perkembangan manusia tidak lepas dari gambaran bahwa anak merupakan bagian dari keluarga dan masyarakat. Dalam arti bahwa kecepatan atau kelambanan anak dalam menjalani masa perkembangannya sangat tergantung dari bagaimana pengaruh lingkungan sosialnya. Sebenarnya banyak teori tentang pengkajian pendidikan sebagai bagian dari hasil cipta dari Ki Hajar dewantara, yang kesemuanya itu merupakan gambaran dari kreativitas Ki Hajar sebagai pemikir sekaligus praktisi pendidikan pada jamannya dulu.
Sebagai contoh adalah adalah sistem among. Seperti diketahui bahwa sistem among yang dicetuskan oleh ki Hajar antara lain berbunyi: Ing ngarso sung tulodho (di depan harus dapat memberi contoh yang baik), Ing madyo mangun karso (di tengah harus dapat membangun), dan Tut wuri Handayani (di belakang harus dapat mendorong dan memberi semangat).

Sistem Among menuntut kesabaran dalam   penerapannya
Nampak dalam teori ini Ki Hajar berusaha memberikan gambaran ideal tentang peran manusia dalam segala lini. Dalam konsep among ini manusia ideal adalah orang yang dapat memerankan diri (menyesuaikan diri) sedang berada pada peran yang bagaimanakah dia. Apakah di depan, di tengah atau di belakang.
Dan dalam setiap kondisi di depan, di tengah maupun di belakang itu orang ideal ini harus dapat memberikan peran yang berarti bagi orang lain di sekitarnya. Bukan main memang teori among ini. Ki Hajar Dewantara memang telah membuktikan sebagai figur yang dapat dipandang sebagai panutan bagi insan pendidikan di Indonesia, bahkan di dunia. Pada sisi lain jiwa kepahlawanan Ki Hajar juga sulit ditandingi oleh tokoh pendidikan lainnya.
Banyak teori yang dihasilkan oleh Ki Hajar Dewantara ini diciptakan beliau pada jaman penjajahan atau jaman perjuangan. Permasalahannya adalah apakah konteks perjuangan yang dikemukakan beliau pada jaman dahulu tetap relevan dengan jaman sekarang. Sebab perjuangan pada jaman dulu diartikan sebagai perang melawan penjajah. Sedang dalam konteks sekarang perjuangan lebih merupakan berjuang untuk mencapai prestasi.
Untuk ukuran jaman yang semakin maju ini banyak nilai-nilai tradisional yang memerlukan redefinisi pada tataran penerapan. Banyak aspek dalam nilai tradisional yang kurang terbuka terhadap inovasi (pembaharuan) yang sedang berkembang. Hal ini apabila dibiarkan jelas sangat mempengaruhi daya kreativitas masyarakat kita.
Dalam perspektif sosial budaya, kreativitas dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial, politik dan sejarah. Iklim kehidupan sosial budaya favourable memungkinkan kreativitas tumbuh subur. Sebaliknya iklim sosial budaya yang mengekang dan kurang menjamin rasa aman mengakibatkan kreativitas terhambat.
Tidak mengherankan jika sering para pemuda kita ketinggalan dengan kemajuan pemuda dari bangsa-bangsa lain. Agaknya pengaruh penjajahan yang terlalu lama menyebabkan generasi tua kita selalu menaruh curiga tehadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Banyak tantangan dan rintangan yang dihadapi Ki Hajar dewantara pada saat berjuang di bidang pendidikan. Namun semakin banyak tantangan yang dihadapi maka semakin besar pula keyakinan Ki Hajar bahwa tidak ada cara lain untuk membebaskan kebodohan Bangsa Indonesia saat itu selain dengan cara mendirikan sekolah untuk masyarakat golongan rendah. Ki Hajar Dewantara merupakan figur yang dapat dipandang sebagai panutan bagi insan pendidikan di Indonesia.
Terutama yang patut menjadi tauladan adalah jiwa kepahlawanannya yang sulit ditandingi oleh tokoh pendidikan lainnya. Sebagai contoh konkrit dari kepahlawanan beliau adalah berdirinya perguruan Taman Siswa pada masa penjajahan Belanda. Meskipun berbagai tantangan menghadang di depan, namun cita-cita mulia untuk mencerdaskan bangsa itu tidak surut sedikitpun. Bahkan justru semakin bersemangat untuk melangkah maju.
1. Pandangan Ki Hajar tentang Keluarga
Di dalam keluarga anak pertama-tama belajar memperhatikan keinginan-keinginan orang lain, belajar bekerja sama, bantu membantu. Di sinilah berarti dia sudah belajar untuk menjadi makhluk sosial. Pengalaman dalam interaksi keluarga turut membantu cara-cara untuk bertingkah laku nyata dalam masyarakat kelak.
Apabila interaksi sosial anak dalam keluarga kurang baik, maka kemungkinan besar interaksi anak dalam masyarakat pada umumnya juga kurang baik. Jadi di samping fungsinya dalam peranan umum, keluarga juga merupakan kerangka sosial yang pertama, yaitu tempat manusia belajar berkembang sebagai makhluk sosial.
Sesuai dengan sifat pendidikan keluarga, orang tua adalah pendidik pertama, utama dan kodrat. Wewenang secara kodrat yang dimiliki orang tua dalam mendidik anaknya tidak dapat diganggu gugat sebab anak adalah hak orang tua. Tetapi karena alasan-alasan tertentu hak orang tua ini dapat dicabut, misalnya karena orang tuia menjadi gila.
Kehidupan keluarga penuh dengan sikap gotong royong serta toleransi. Juga keluarga merupakan peletak dasar utama bagi pendidikan keagamaan. Di samping itu juga pendidikan budi pekerti, tertanam dalam lingkungan keluarga secara kuat dan murni, sehingga tidak dapat pusat-pusat pendidikan lain menyamainya.
2. Pandangan Ki Hajar tentang Pendidikan
Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara kedewasaan bisa diartikan sebagai kesempurnaan hidup yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang selaras dengan alamnya dan masyarakat. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan secara umum sebagai daya upaya untuk mewujudkan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani anak, menuju ke arah masa depan yang lebih baik.
Kedewasaan akan tercapai pada akhir windu ketiga, yaitu tercapainya kesempurnaan hidup selaras dengan alam anak dan masyarakat. Jadi dapat diartikan bahwa pendidikan terutama berlangsung sejak anak lahir hingga anak berusia sekitar 24 tahun.
“Ki Hajar menyetujui teoti Konvergensi, dimana perkembangan manusia itu ditentukan oleh dasar (nature) dan ajar (nurture). Anak yahng baru lahir diibaratkan kewrtas putih yang sudah ada tulisannya, tetapi belum jelas”, (Suwarno, 1995: 30).
Selanjutnya Ki Hajar juga berpendapat bahwa perkembangan anak didik mulai dari lahir hinga dewasa dibagi atas fase-fase sebagai berikut: (1) Jaman Wiraga (0-8 th) merupakan periode yang amat penting bagi perkembangan badan dan pandca indra. (2) Jaman Wicipta (8-16 th) merupakan masa perkembangan untuk daya-daya jiwa terutama pikiran anak, dan (3) Jaman wirama (16-24 th): masa untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat di mana anak mengambil bagian sesuai dengan cita-cita hidupnya.
Selain itu ajaran beliau yang tidak kalah penting adalah yang dikenak sebagai sistem among, yang antara lain berbunyi:
1. Ing ngarso sung tulodho:
Artinya sebagai pemimpin apabila sedang di depan harus dapat memberi contoh yang baik, yang meliputi kebaikan budi pekertinya, kepandaiannya, dan keterampilannya.
2. Ing madyo mangun karso:
Artinya sebagai pemimpin apabila sedang berada di tengah harus dapat membangun, bergotong royong bersama dengan orang-orang yang dipimpinnya. Tidak hanya bisa memerintah, namun juga harus dapat dan mau “tandang gawe”, yaitu diperintah oleh kemauannya sendiri.
3. Tut wuri Handayani:
Artinya sebagai pemimpin apabila sedang berada di belakang harus dapat mendorong dan memberi semangat (nyurung karep) kepada semua teman-temannya.
Menurut Ki Hajar rasa cinta, rasa bersatu, perasaan serta keadaan jiwa pada umumnya, sangat bermanfaat untuk berlangsungnya suatu proses pendidikan.
3. Pandangan Ki Hajar tentang Faktor Pembawaan
Faktor pembawaan dimaksudkan segala sesuatu yang dibawa sejak anak itu lahir, yang oleh K.H. Dewantara disebut factor dasar. Factor dalam (pembawaan) ini meliputi :
a) Pembawaan Phisik
Yakni, bagaimana tentang keadaan tubuh seseorang yang dibawa sejak ia dilahirkan.
Misalnya:
bagaimana konstitusi atau bentuk tubuhnya, gemuk atau kurus, tinggi atau pendek, sampai pada jenjang pendeknya leher, besar kecilnya tengkorak, antara lain:
- susunan urat syaraf, tulang-tulang, otot-otot,
- cacad sejak lahir atau tidak
- mempunyai penyakit keturunan atau tidak
- phisik dapat tumbuh dengan normal atau tidak
- sehat atau sakit-sakitan, dan sebagainya.
b) Pembawaan Kejiwaan (Psikis)
Yakni, bagaimana tentang kejiwaan (kondisi psikis) seseorang sejak dilahirkan.
Misalnya :
- berpembawaan cerdas atau tidak
- IQ-nya tinggi, rendah atau sedang
- Sehat mentalnya atau tidak, mungkin berpenyakit jiwa atau memiliki kelainan-kelainan jiwa, dan sebagainya
- Adakah potensi (kecakapan-kecakapan) khusus yang perlu dikembangkan: jiwa seni mengarang, melukis, melawak, menyanyi, dan sebagainya.
Demikian tulisan saya, terimakasih atas perhatian pembaca, dan mohon ada komentar.***

oleh: Soeranto
◄ Newer Post Older Post ►