Satu bulan sudah aku berada di Desa Ponclot karena ikatan dinas untuk mengajar di sebuah sekolah dasar di desa yang terpencil ini. Syukurlah, tempat mengajarku tidak begitu jauh dari rumah induk semangku karena letaknya di ujung kampung. Setiap pergi pulang mengajar, aku harus melewati rumah penduduk yang sebagian besar semipermanen, dan juga beberapa rumah panggang.
"Dik Kris, hati-hati kalau lewat rumah panggung tua yang di ujung kampung itu!" kata Pak Kosim sembari menunjuk ke arah rumah tua.
Sebuah rumah panggung yang tidak bertetangga. Terkucil! Peringatan kedua dari Pak Kosim kembali membuat aku mengernyitkan kening.
"Iya, Nak Kris...! Ki Dirja itu punya ilmu santet," sambung Pak Danu, pemilik rumah induk semangku. "Selain itu, dia juga punya tuyul."
"Jadi, kalau Nak Kris punya uang, jangan dibiarkan lepas. Uang lembaran itu harus dijepit, terus taruh cermin di tempat uang, jangan lupa... bawang putih tunggal," sela Pak Kosim.
"Untuk apa itu semua, Pak?" tanyaku tak bisa menyembunyikan keherananku mendengar syarat-syarat yang disebutkan Pak Kosim.
"Itu lho... uang yang dijepit biar susah mengambilnya. Cermin... tuyul itu kan anak-anak, kalau dikasih cermin, dia bisa lupa tugasnya, ngaca melulu... Nah, bawang putih... banyak menyengat, dan biasanya ditakuti makhluk halus." paparnya.
Aku hanya bisa mengangguk-angguk mendengar uraian Pak Kosim. Karena dalam hal ini aku kurang paham. Namun sepengetahuanku, itu pun menurut cerita dari mulut ke mulut, bahwa kalau orang punya "piaraan" biasanya akan hidup makmur dan mewah. Kok ini berbeda jauh dengan kehidupan Ki Dirja. Rumah panggungnya sudah tua dan hendak ambruk karena tidak terawat.
Hati kecilku sendiri sebenarnya menolak omongan orang-orang kampung ini. Sebab, kemarin pagi aku sempat bertemu langsung dengan Ki Dirja dan istrinya, saat membersihkan halaman rumah.
"Permisi, Ki... numpang lewat," aku memulai sapaanku. Aku melihat dengan jelas, pasangan suami istri yang renta itu tersenyum senang. Pikirku, mungkin jarang sekali orang yang mau menegur mereka.
"Mau pergi ke mana, Nak...?" Ki Dirja membalas sapaanku.
"Sekolah, Ki.... Mari ditinggal dulu...."
Itulah pertama kalinya aku bertemu dan bertutur sapa dengan mereka. Jauh, jauh sekali dari yang kubayangkan sebelumnya. Sosok tua yang ringkih, kesedihan yang membias di mata mereka.... Ah, nuraniku memilih iba ketimbang takut.
Sore hari.
"Nak Kris ini gimana sih? Bapak kan sudah memperingatkan. Kok malah nekat mau berkunjung ke rumahnya," kata Pak Kosim yang tampak khawatir. Dia berusaha mencegah langkahku.
"Ya, ndak apa-apa kok, Pak! Saya hanya ingin mengenalnya lebih dekat."
"Tapi, Nak...," suara Pak Kosim terhenti ketika dilihatnya aku mulai beranjak tidak memedulikan kekhawatirannya.
Suasana senja mewarnai desa terpencil ini. Tak berapa lama, ketika mendekati rumah tua itu, hatiku mulai berdebar keras. Entahlah, aku sendiri tak mampu menahan debaran jantung yang makin kencang ini. Apalagi tak ada seorang pun di sekitar sini. Suasana lengang, sementara matahari makin turun, seolah hendak bersembunyi.
"Permisiii...," teriakku lebih keras lagi. Heran! Sepertinya tak ada orang di dalam rumah. Jangan-jangan....
"Lho, ada tamu rupanya...," sebuah suara mengagetkanku. Hmm... ternyata Ki Dirja dan istrinya muncul di belakangku.
"Eh, Ki... nggg. Begini, Ki... saya ke mari cuma mau main."
"Ealah, apa ndak salah... main kok ke mari?" sahut Ki Sudirja, nama lengkapnya.
"Nek, Si Jalu* ini mau main katanya he... he... he...."
Ki Dirja tiba-tiba terkekeh panjang dan istrinya pun ikut-ikutan terkekeh. Aku bingung memandang mereka bergantian. Tanpa disadari bulu kudukku merinding mendengar suara tawa pasangan tua ini.
Ki Dirja tiba-tiba terkekeh panjang dan istrinya pun ikut-ikutan terkekeh. Aku bingung memandang mereka bergantian. Tanpa disadari bulu kudukku merinding mendengar suara tawa pasangan tua ini.
"Apa yang lucu, Ki?" tanyaku polos.
"Lha, iya... lucu sekali kau ini. Sebab, orang-orang kampung pada takut ke mari, eh... kau malah mau main segala. Apa kau ndak takut, Nak?"
Hmm, aku menarik napas lega. Kini aku mengerti.
"Ya, ndak Ki. Saya ke mari ingin sowan, boleh kan?"
"Ya, sudah... kalau begitu maumu," kata Ki Dirja yang kemudian mengajakku untuk duduk di sampingnya. Aku menurutinya.
"Nek, ambil minuman untuk Si Jalu!"
Suasana hening sejenak.
"Sungguh kejam orang-orang kampung ini, Nak...," jawab Ki Sudirja dengan mata nanar saat aku menyinggung sikap orang-orang kampung kepada mereka berdua. Nek Jum, panggilan akrab Nenek Jumsih, istrinya tertunduk ketika mendengar ucapan Ki Dirja.
Dulu, kata Ki Dirja, mereka punya anak empat orang. Tapi semua anaknya itu meninggal satu per satu. Ki Dirja sendiri mengaku tidak tahu sebabnya.
"Maklum, kami orang bodoh dan miskin. Kami kira anak-anak sakit demam biasa atau kena cacar. Karena kulitnya bintik-bintik merah, hidungnya keluar darah... kayak mimisan," tuturnya.
Namun orang-orang tidak mau tahu, mereka menuduh Ki Dirja "mengorbankan" anak-anaknya satu per satu, untuk mencari kekayaan dengan cara melakukan pesugihan. "Kau lihat sendiri.... Apa aku ini orang kaya harta? Ndak kan! Aku masih punya iman, Nak.... Tak mungkin aku harus mengorbankan anak-anak kesayangan kami hanya untuk mencari kekayaan yang dibenci oleh Gusti Allah. Tidak!!" suara Ki Dirja terdengar serak.
Sepintas kulihat mata tuanya berkaca-kaca, dan dadanya naik turun menahan gejolak batinnya. Dan di sebelahnya, Nek Jum tergugu menangis, yang sekali-sekali mengusap air matanya dengan ujung baju kumalnya. Kedua tubuh pasangan suami istri yang ringkih itu berguncang hebat. Aku tercekat. Sungguh tak kusangka bila di hari tua mereka yang seharusnya hidup tenang, mereka justru menyimpan penderitaan yang amat berat.
"Sejak itulah, orang-orang kampung mengucilkan kami, Nak! Jadi engkaulah orang pertama yang datang ke mari setelah dua puluh tahun lalu...," ungkap Ki Dirja pasrah.
"Sudahlah, Kek.... Orang sabar itu kan selalu bersama Gusti Allah." Nek Jum meraih tangan suaminya. Ia sendiri berusaha menghapus sisa tangisnya.
"Eh, iya... aku udah cerita. Sekarang giliranmu, Nak...!" kata Ki Dirja mengalihkan pembicaraan.
"Euu... namaku Krisanto. Cukup panggil Kris saja, Ki. Aku ditugaskan pemerintah untuk mengajar di sekolah dasar di desa ini."
"Apa kau sudah punya momongan, Nak?" tanya Nek Jum. Aku bersipu.
"Aku masih perjaka, Nek!"
Mereka tertawa mendengar pengakuanku. Namun, Ki Dirja tiba-tiba terdiam sambil memandangiku tajam. Aku jadi heran melihat perubahan mimik pada raut wajah lelaki tua itu.
"Kenapa dan ada apa, Ki?"
"Kalau anak sulung kami si Somad masih hidup, mungkin kini seusiamu. Tapi dia sudah dipanggil Gusti Allah.... Kami merasa sangat kehilangan. Sedih, Nak!"
"Kalau begitu, anggap saja aku ini si Somad," aku menghiburnya.
Mereka tampak sumringah.
Bila ada waktu luang, hampir setiap hari aku mengunjungi Ki Dirja dan istrinya, meski sekadar mengobrol ngalur ngidul. Tak kupedulikan omongan orang-orang kampung yang menganggapku sudah "kena" ilmu guna-guna Ki Dirja. Aku tak berubah pikiran.
"Pak Kosim, sesungguhnya anak mereka itu meninggal akibat serangan demam berdarah. Bukan dikorbankan untuk mencari kekayaan dengan cara pesugihan atau tumbal untuk memiliki ilmu santet dan lainnya. Mereka itu orang lemah, Pak. Kasihan mereka," kataku mencoba menjelaskan duduk persoalannya.
"Ah, kau ini tahu apa sih? Bukankah Nak Kris baru tiga bulan di desa ini? Bapak? Bapak sudah karatan, lebih tahu daripada Nak Kris," kata Pak Kosim ketus.
"Kalaupun kata-katamu itu benar, berarti Nak Kris harus melawan pendapat seluruh penduduk sini. Padahal, sudah bertahun-tahun Ki Dirja dan istrinya dikucilkan penduduk kampung. Dan kini, Nak Kris mau mendobraknya," sela Pak Danu mencoba menenangkan hatiku.
Aku diam saja. Padahal, batinku berkecamuk berbagai perasaan. Ada marah, kesal, jengkel, tak berdaya... jadi satu. Sebagiannya, justru orang-orang kampunglah yang membesar-besarkan persoalan. Karena mereka sendiri yang percaya dengan hal-hal mistik berbau takhayul. Bahkan, merekalah yang menyebarkan fitnah busuk itu turun-temurun kepada anak cucu mereka.
"Nak Kris, ndak perlu sering-sering sowan ke mari. Apa kata orang nanti...!!" pernah Ki Dirja memperingatkanku. Aku tersenyum kecut mendengarnya.
Kamis petang.
"Ki Dirja mati.... Ki Dirja mati...!!" teriak Arif, anak Karang Taruna, sepanjang jalan desa. Teriakannya mengejutkan orang-orang. Aku yang sedang membereskan buku-buku untuk mengajar besok segera keluar.
"Ada apa, Rif? Bapak dengar, Ki Dirja meninggal? Kapan?"
"Benar, Pak! Kabarnya sih sudah dua hari ini...," sahut Rif sambil berlalu.
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un," gumamku. Kemudian aku menghambur menembus kegelapan malam.
Selama seminggu ini, memang aku ditugaskan kepala sekolah untuk mengikuti penataran di kantor Diknas Kecamatan. Untuk menghemat ongkos dan waktu, maka aku menetap di kota kecamatan karena bila pergi pulang jaraknya jauh. Dan baru sore tadi aku kembali ke desa.
Pada malam itu, jalan menuju rumah Ki Dirja yang biasanya lengang, mendadak ramai. Bahkan, banyak kaum ibu dan anak-anak ramai memperbincangkan kematian lelaki tua yang malang itu. Dari ucapan mereka, aku sempat menangkap selentingan, "Itulah, kalau orang punya ilmu hitam, matinya juga ndak ketahuan...." Ada pula yang berkata, "Kalau dia mati, kampung kita bakal aman...."
Aku hanya menghela napas.
Begitu tiba di depan rumah Ki Dirja, aku menyibak kerumunan orang, untuk bisa segera tiba. Alamak, Ki Dirja dalam kondisi yang sangat mengenaskan di kamar sumpeknya. Darah bertebaran di pelupuh. Agaknya ia batuk darah sebelum meninggal. Semua orang sibuk menonton dan berkomentar. Namun tidak seorang pun yang berinisiatif memperlakukannya seperti layaknya seorang manusia meninggal.
"Kenapa tidak dimandikan?" akhirnya aku berteriak kesal bercampur marah. Tak peduli meski aku ini hanya tamu di kampung ini.
"Wah, ndak ada yang berani, Pak Kris!" sahut seorang ibu di dekat pintu depan rumah.
"Panggil Kosim ndak mau, katanya sih ndak berani, Pak! Pak Kosim kan orangnya penakut, Pak," sahut ibu lainnya.
Semula, aku hendak menyuruh orang untuk memanggil Pak Danu, induk semangku. Tapi aku ingat, Pak Danu sejak pagi tadi keluar desa, menengok anaknya. "Kalian semua sungguh biadab...," gerutuku.
Aku bergegas keluar rumah. Tujuanku tak lain ke rumah Pak H Wahid di kampung tetangga. Aku berharap, orang tua ini bersikap lebih arif karena ia berpendidikan dan seorang tokoh masyarakat yang disegani. Sekitar satu jam kemudian....
Akhirnya, aku dan Pak H Wahid yang memandikan mayat Ki Dirja yang sudah mulai lembam. Setelah dishalatkan, malam itu juga, jenazah Ki Dirja dikebumikan di belakang rumahnya sendiri. Jika menunggu izin untuk dikubur di pemakaman umum, akan membutuhkan waktu lama dan bertele-tele. Sedangkan kondisi mayat Ki Dirja sudah sedemikian memprihatinkan. Aku khawatir, bila mayat lelaki tua itu dibiarkan lebih lama lagi, akan membusuk.
Malam makin larut, Satu per satu penduduk kampung pulang ke rumah masing-masing. Sementara aku dan H Wahid belum beranjak.
"Nek Jum...," aku memanggil wanita tua itu yang duduk di pojok rumah. Ia diam saja dan matanya tampak nanar. "Nenek harus tawakal menghadapi cobaan berat ini." hiburku.
"Nak Kris, sekarang Nenek sendirian," wanita tua itu terisak.
"Kan ada aku, Nek!"
"Kemarin pagi, aku kira si Dirja tidur nyenyak ndak mau diganggu, ndak tahunya... pergi untuk selamanya."
"Sudahlah, Nek! Sekarang kita tidur saja. Doakan saja, semoga Tuhan menempatkan Ki Dirja pada tempat yang layak."
Malam itu, aku dan H Wahid tidur di rumah panggung tua itu, menemani Nek Jumsih yang sangat terpukul dengan kematian suami tercintanya.
Seminggu sejak kematian Ki Dirja, kudengar desas-desus yang berbau takhayul makin sengit beredar di kalangan penduduk kampung. Bahkan, rumah tua Ki Dirja tambah angker di mata penduduk.
Walau begitu, aku tetap setia mengunjungi Nek Jum, kadang berlama-lama dan menemani tidur. Aku sering menyesali ketakberdayaanku. Tak mampu rasanya aku menghapus duka yang begitu dalam milik wanita tua itu, wajah yang makin tirus dimakan usia dan penderitaan selama bertahun-tahun. Ibarat sepasang merpati tua, Ki Dirja dan Nek Jumsih hidup sebatang kara penuh derita.
"Nak Kris, Nenek sudah ndak sanggup lagi.... Dulu, waktu Ki Dirja masih hidup, Nenek punya kawan. Tapi sekarang... Nenek ingin menyusul Ki Dirja!"
"Jangan bicara begitu, Nek!" aku menghapus air mata yang menggenang di sudut mataku.
Dunia ini terlalu kejam untuk orang tua ini. Ah, jika aku dapat membawanya pergi ke luar dari desa ini.... Tapi, ikatan dinasku!!
Beberapa bulan kemudian. Minggu pagi, setelah selesai mencuci, seperti biasanya aku selalu sowan ke rumah Nenek Jumsih untuk menemaninya.
"Nek Jum...," panggilku seraya langsung masuk ke rumah tua itu.
Di sini sudah seperti rumahku sendiri. Jadi, aku tak sungkan lagi masuk-keluar rumah. "Nekk...!" panggilku lagi. Tidak ada sahutan. Aku celingukan mencari wanita ringkih itu. Lalu kulongokkan kepalaku ke dalam kamarnya.
Ada. Sedang tidur. Aku mendekat untuk membangunkannya. "Nek, sudah siang... bangun!" Juga tak ada sahutan. Aku mencoba mengguncang-guncang tubuhnya. Aku panik, karena tubuhnya terguncang semua. Tubuh tua itu terbujur kaku."Nekk...!!" seruku. Dan tangisku meledak tak tertahan.
Kini, tak akan kudengar lagi suara lembut milik Nenek Jumsih. Tak akan ada lagi sosok ringkih yang menyambutku di rumah itu. Tak akan kudengar lagi suara pasrahnya yang bercerita tentang luka hatinya, kerinduannya pada anak dan suaminya. Tak akan lagi....
Kini, sepasang merpati tua itu telah tiada.
* Si Jalu = anak laki-laki belum menikah
Dimuat di Suara Pembaruan pada 04/06/2003