Minggu, 03 Juli 2011

Guru Kehidupan dari Nek Inggih

Di Jakarta dan pusat-pusat kota, menemukan sosok perempuan tua seperti itu, mudah. Rambut beruban, busana seadanya dan hidup tanpa sanak kerabat. Di lampu merah dan tempat-tempat tertentu, mudah ditemui. Mereka berprilaku dengan mengharap belas kasihan orang lain. Tapi, perempuan tua beruban yang menutupi kepalanya dengan caping itu, manusia langka dalam keseharian kita.

"Inggih… (iya)," jawabnya setengan teriak. Setiap ditanya siapa namanya.

"Inggih!" jawabnya berulang-ulang. Pertanda, pendengaran nenek itu, sudah berkurang.

Sabtu siang, tiga pekan lalu, saya menemuinya di hutan jati Putuk, Bandungrejo, Ngasem, Bojonegoro. Cuaca sedang terik menyengat, saat ia mencari kayu bakar. Tubuhnya terselip di antara rimbunan semak yang terbakar. Kulitnya keriput, raganya tampak renta, tapi, ia masih kuat menyabetkan arit ke ranting kayu yang kering.

Dengan bahasa Jawa, saya memaksakan diri berbagi cerita dengannya. Meski, antara pertanyaan dengan jawaban, hampir tak nyambung. Ia, malah mengurai sendiri cerita hidupnya. Saat ini, ia hidup tanpa kerabat. Tinggal di rumah bambu yang tiangnya mau roboh, atap genteng bocor, dan dapur yang bara apinya kerap dingin.

Nek Inggih
Hidup harus berlanjut, dengan segala daya. Tiap hari, ia pergi ke hutan mencari kayu bakar. Hasilnya, diberikan ke orang-orang mampu di desa itu. Dari perasan peluhnya, orang akan memberi imbalan, sekadar makan siang. Makan pagi dan sore, terlalu mahal jika harus ada. Melihatnya berjibaku meretas belukar dan membacok kayu, batin terasa hancur. Begitu getir, sang nenek menjalani sisa umurnya.

"Isin nek nyuwun-nyuwun, wong awak tasik rosa (malu kalau meminta-minta, badan masih kuat)," katanya, sembari mengusap peluh di wajahnya, dengan kain gendong kumal.
"Isin nek nyuwun-nyuwun, wong awak tasik rosa (malu kalau meminta-minta, badan masih kuat)"
Ungkapan itu sungguh menampar. Semangatnya membara. Kenyataannya, jalan kaki saja tampak repot. Tangannya terlihat gemetar, tiap mengayunkan arit ke ranting kayu yang keras. Nafasnya juga tersengal. Tapi, semangat hidup, membuat jiwanya terasa perkasa. Tak ada keluh dicurahkan, getir ditampakkan, dan kemiskinan yang diumbar. Harga diri, melebihi manusia yang masih muda sekalipun.     

Saya mengikutinya, hingga tepi jalan raya yang belum diaspal. Mendadak, mobil double cabin buatan Eropa melintas. Putaran ban, menyebabkan debu tebal membekap muka.

"MCL," nenek itu berkata, sembari menunjuk mobil yang baru lewat.

MCL, Mobile Cepu Limited atau yang akrab dikenal ExxonMobil. Saya baru sadar, ternyata sedang berpijak di atas tanah kering yang di dalamnya memproduksi minyak. Desa Bandungrejo, tempat nenek itu tinggal, daerah yang sebenarnya masih tertinggal. Meski, di perut buminya mengandung kekayaan berlimpah.

Saya, akhirnya berpisah di ujung masuk desa. Sembari berjabat tangan, saya selipkan amanah fidyah donatur Al-Azhar Peduli Ummat.

"Niki nopo, kulo mboten ngrencangi sampean (ini apa, saya tidak membantu kamu)," ia berusaha menolak.

Argumennya jujur, ia tak mau menerima sesuatu, sementara ia tidak mengerjakan apa pun. Harga diri yang langka di zaman ini. Setelah melalui berbagai penjelasan, perempuan tua yang hebat itu, menerima. Kami pun berpisah. Saya menatapnya, hingga hilang dari pandangan. Bayangan saya mengembara, ke pusat kota, banyak manusia-manusia perkasa, cerdas budi pikiran, dan terdidik tapi tak memiliki kekuatan jiwa dan harga diri, setangguh nenek itu.

Ya Robb, sungguh saya malu dengan sifat diri yang tamak, kikir, dan rakus ini. Terima kasih Nek Inggih, atas pelajaran kehidupan hari ini. (Jakarta/detiknews.com)

*) Sunaryo Adhiatmoko, Al Azhar Peduli Ummat via us.detiknews.com
.
.

◄ Newer Post Older Post ►