Dalam pergaulan kerap ditemui  orang yang persepsi tentang dirinya sendiri tidak klop dengan kenyataan.  Tapi umumnya orang mengatakan, saya paham betul siapa dirinya. “Semakin tua orang diharapkan semakin matang.  Bisa diibaratkan seperti bawang, yang terkelupas kulitnya satu per  satu, sehingga tidak perlu membentengi dirinya dengan segala macam  kebohongan atau kepura-puraan. Ia tak perlu topeng, sehingga hidupnya  lebih enak, lebih ringan, karena menjadi diri sendiri.”
Tapi tidak demikian dengan Bu  Intan. Ia tak pernah menampilkan diri apa adanya. Wanita pintar berambut  lebat ini lebih suka menarik diri dari pergaulan karena tidak bisa  berbahasa Inggris. “Dibanding teman-teman, saya  bukan apa-apa,” katanya. Ia minder, merasa dirinya tidak pantas  diperhitungkan dan tempatnya di belakang, karena tidak pernah bisa  berkomunikasi jika ada tamu bule. Maka Bu Intan selalu menyingkir atau  pura-pura sakit jika harus bertemu orang dari negara lain.
Padahal teman-temannya tidak  pernah menganggapnya remeh. Bu Intan bahkan sangat disukai dan  dihormati, karena ia orang yang paling teliti dalam pekerjaan. Ia juga  pendengar yang baik, sehingga menjadi tempat curhat teman-temannya.
Sayangnya hal-hal positif itu  tidak dianggapnya penting, dan dia lebih menampilkan dirinya sebagai  orang yang nilainya lebih rendah. Padahal, banyak orang lain yang tidak  bisa bahasa Inggris tetap sukses dalam pekerjaan dan pergaulan.
Ini berkebalikan dengan Pak  Badu, sebutlah begitu. Anak muda yang belum lama masuk dunia politik  ini, menilai dirinya terlalu besar. Dengan posisi politik dan  kedudukannya sebagai anggota DPR, ia mengira bisa mengatur negara dan  menentukan ini itu seperti yang diinginkannya. Di hadapan rekan-rekannya  dalam suatu acara reuni misalnya, dia bisa berkata, “Oh, gampang itu.  Saya akan atur nanti supaya si Itu dilepaskan dari kabinet dan diganti  dengan si Ini.”
Dalam acara dengar pendapat  dengan seorang penegak hukum yang reputasi, integritas, dan moralnya  sangat bagus dia berkata, “Saya ingin menguji Saudara….,” atau bahkan,  “Saya ingin menasihati Saudara….”
Mendengar itu semua, teman  yang mengenal Pak Badu terheran-heran. “Dia itu siapa, kok,  berani-beraninya bicara begitu kepada orang tua yang sangat disegani  itu.” Temannya yang lain berkomentar, “Kasihan betul Badu ini, dia sudah  tidak kenal lagi siapa dirinya.”
Kenyataan dan Asumsi
 Mengapa orang bisa seperti itu?  Mengapa harus membohong terus? Mungkin mereka dan bahkan kita sendiri  mencoba tampil seperti yang kita kira bagus, tapi sebetulnya tidak  sesuai dengan kenyataan diri kita.
Lalu, siapa diri kita sebenarnya?  Apa yang kita tahu betul tentang diri kita? Apakah kita tahu tentang  kelemahan dan kekuatan kita? Dan apa yang kita kira kita tahu tentang  diri sendiri itu lantas terbukti atau sesuai dengan kenyataan? Kalau itu  kelebihan, apakah orang lain juga mengakuinya? Dan kalau itu kita kira  sebagai kekurangan, apakah orang lain juga mengakui itu kekurangan kita?

Semakin mendekati jarak antara  kenyataan dengan apa yang kita asumsikan tentang diri kita, itu berarti  baik karena kita mengenal diri sendiri. Begitu pula sebaliknya. Semakin  jauh jarak antara kenyatan dengan apa yang kita perkirakan tentang diri  sendiri, artinya buruk sekali pengenalan diri kita.
Apa akibatnya jika orang tidak kenal  dirinya, sehingga jarak antara asumsi dan kenyataan tentang diri sendiri  begitu jauh? Tak bisa lain, orang itu harus terus berusaha mengingkari  kenyataan tentang dirinya.  Barangkali dalam kenyataan sehari-hari  muncul dan sering kita temui dalam bentuk over compensation,  membual, melebih-lebihkan, atau bahkan mengecilkan orang lain untuk  meninggikan diri sendiri, berbohong dan seterusnya jika merasa dirinya  paling hebat. Ia tidak berpijak pada kenyataan, sehingga dalam bekerja  biasanya hanya omong doang.
Begitu pula sebaliknya orang yang  mengira diri sendiri negatif, akan sangat minder, menarik diri dari  pergaulan, mengurung diri, tidak mau melakukan apa pun. “Apalah artinya  saya, siapa yang mau mendengarkan saya,” adalah contoh ungkapan yang  sering diucapkan orang dengan persepsi diri negatif. Orang ini  sebetulnya sangat tertekan pada kelemahan dirinya.Baik yang menilai dirinya terlalu  tinggi maupun terlalu rendah, keduanya tidak sesuai kenyataan dan itu  berarti jelek. Hal ini secara mental atau psikologis tidak sehat. Orang  yang selalu pakai kedok akan capek, lalu memberikan stres yang besar  pada diri sendiri.
Solusi
 Dalam psikologi ada konsep yang  disebut Johari Window atau Jendela Johari, yang menggambarkan pengenalan  diri kita. Ada empat jendela dalam Jendela Johari.
(1) Jendela terbuka. Hal-hal yang  kita tahu tentang diri sendiri, tapi orang lain pun tahu. Misalnya  keadaan fisik, profesi, asal daerah, dan lain-lain.
(2) Jendela tertutup. Hal-hal mengenai diri kita yang kita tahu tapi orang lain tidak tahu. Misalnya isi perasaan, pendapat, kebiasaan tidur, dan sebagainya.
(3) Jendela buta. Hal-hal yang kita tidak tahu tentang diri sendiri, tapi orang lain tahu. Misalnya hal-hal yang bernilai positif dan negatif pada kepribadian kita.
(4) Jendela gelap. Hal-hal mengenai diri kita, tapi kita sendiri maupun orang lain tidak tahu. Ini adalah wilayah misteri dalam kehidupan.
(2) Jendela tertutup. Hal-hal mengenai diri kita yang kita tahu tapi orang lain tidak tahu. Misalnya isi perasaan, pendapat, kebiasaan tidur, dan sebagainya.
(3) Jendela buta. Hal-hal yang kita tidak tahu tentang diri sendiri, tapi orang lain tahu. Misalnya hal-hal yang bernilai positif dan negatif pada kepribadian kita.
(4) Jendela gelap. Hal-hal mengenai diri kita, tapi kita sendiri maupun orang lain tidak tahu. Ini adalah wilayah misteri dalam kehidupan.

Semakin besar  daerah/jendela terbuka kita akan semakin baik, karena berarti kita  mengenal diri secara baik. Orang yang memiliki daerah tertutup lebih  besar akan mengalami kesulitan dalam pergaulan. Adapun mereka yang  memiliki daerah buta sangat besar, bisanya akan membuat orang lain  merasa kasihan. 
Kepada orang yang kita kenal  dekat, jendela itu harus dibuka semakin besar, juga bila kita ingin  bekerjasama dengan orang lain. Bagaimana membuka jendela? Bagaimana kita  bisa kenal diri sendiri? Bagaimana kita memiliki jendela terbuka yang semakin besar?
1. Bersedia menerima umpan balik, secara verbal maupun non-verbal.
a.  Bersedialah untuk menerima kritik, saran dan pendapat dari orang lain  tentang diri kita. Kalau ada orang yang memberikan kritik sangat pedas,  ada baiknya dikaji. Jika merasa tidak benar, tanyakan, mengapa dia  mengungkapkan hal itu, cari klarifikasi, dan bukan membalas menghajarnya  atau mengkritik balik. Kritik adalah bentuk umpan balik yang berisi  informasi negatif tentang diri kita, yang mungkin kita anggap kelemahan.  Harusnya kritik itu berisi saran, karena kritik itu berarti menunjukkan  kesalahan dan harus bisa memberitahu bagaimana jalan keluarnyab. Kita juga harus mau lebih  membuka diri. Ungkapkan kalau ada uneg-uneg, kekesalan, kejengkelan dan  sebagainya. Bisa lisan bisa tertulis harus diungkapkan terus terang.  Bisa juga kita membuka  kekuatan atau kelemahan diri kita,dibagi kalau  berupa kekuatan. Ini cara supaya orang lain lebih mengenali diri kita,  dan kita pun makin tahu tentang diri sendiri. Kita tidak mungkin  mengenali diri sendiri hanya dari muka cermin, tapi juga melalui orang  lain supaya kita mendapat gema atau echo dari orang lain.
2. Bagaimana cara kita membuka diri
Banyak bergaul, berteman baik,  memperluas hubungan interpersonal dan berkomunikasi. Dengan cara ini  kita akan mendapat masukan dari banyak orang. Semakin luas pergaulan  akan mendapat masukan lebih banyak mengenai diri kita..
.