Supervolcano Toba telah meletus eksplosif beberapa kali selama 1,2 juta tahun terakhir. Sejauh yang terbesar dan paling merusak ini terjadi sekitar 74.000 tahun yang lalu. Setidaknya 2.800 kilometer kubik material vulkanik dikeluarkan selama letusan super, jauh lebih dahsyat dari letusan gunung Krakatau dan Pinatubo.
Letusan Gunung Toba yang melontarkan jutaan metrik ton debu volkanik, sulfur, dan partikel-partikel lain ke atmosfir pada 74 ribu tahun yang lalu disebut-sebut menyebabkan penggelapan langit, penurunan suhu global hingga 10 derajat Celcius selama hampir satu dekade dan membinasakan sebagian besar umat manusia.
Letusan Gunung Toba yang melontarkan jutaan metrik ton debu volkanik, sulfur, dan partikel-partikel lain ke atmosfir pada 74 ribu tahun yang lalu disebut-sebut menyebabkan penggelapan langit, penurunan suhu global hingga 10 derajat Celcius selama hampir satu dekade dan membinasakan sebagian besar umat manusia.
Perbandingan Letusan Gunung Toba dan Gunung Lainnya |
Ternyata, dari penelitian terbaru, efek cuaca yang disebabkan letusan Toba lebih ringan dan reda relatif lebih cepat dibanding perkiraan yang dibuat oleh pada arkeolog dan klimatolog sebelumnya. Manusia yang mengalami bencana letusan Toba itu diperkirakan berhasil melewatinya dengan selamat.
Penurunan Suhu Glabal Akibat Abu Vulkanik
Meski dari sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa letusan Toba yang kini meninggalkan danau volkanik terbesar di dunia itu menggelapkan dan membekukan dunia, menggunakan data letusan gunung Pinatubo, Filipina tahun 1991, Stephen Self, volkanologis dari Open University, Milton Keynes, Inggris dan Michael Rampino, paleobiologis dari New York University, menyatakan bahwa efek pendinginan suhu akibat letusan Toba hanya mencapai 3 sampai 5 derajat saja.
Letusan gunung berapi Pinatubo di Filipina ini termasuk letusan terbesar di abad 20 dengan skala 6 VEI. |
Berdasarkan data yang didapat dari situs arkeologi di India, tim antropolog University of Oxford, Inggris, yang dipimpin oleh Michael Petraglia menyebutkan bahwa manusia yang tinggal tidak jauh dari zona letusan justru malah berhasil melewati bencana tersebut dengan mudah.
Untuk mencari titik terang, tim peneliti yang dipimpin oleh Claudia Timmreck, dari Max-Planck Institute for Meteorology di Hamburg, Jerman membuat pemodelan yang mampu menggambarkan lebih realistis (meski metode ini juga memiliki beberapa kekurangan) apa yang terjadi saat Toba meletus.
Peneliti fokus ke bagaimana partikel sulfate aerosol yang terbentuk di stratosfir akibat letusan sulfur dioksida yang mengandung gas mendinginkan atmosfir dengan cara memantulkan sinar matahari. Dari data yang didapat, dan disesuaikan dengan asumsi yang sudah dibuat sebelumnya, diketahui bahwa Toba mengirimkan sekitar 850 juta metrik ton sulfur ke atmosfir. Angka ini 100 kali lebih banyak dibanding setoran gunung Pinatubo ke atmosfir. Dari simulasi juga diketahui bahwa dampak Toba memang hanya menurunkan suhu sebanyak 3 sampai 5 derajat Celcius di seluruh dunia. Akan tetapi, konsentrasi sulfur tidaklah padat dan segera hilang dari stratosfir selama 2 sampai 3 tahun saja. Perubahan temperatur secara ekstrim yang terjadi di Afrika dan India hanya berlangsung selama 1 sampai 2 tahun. Di kawasan ini, di tahun pertama suhu turun 10 derajat dan 5 derajat di tahun kedua.
Menurut Timmreck, seperti dikutip dari ScienceMag, 25 November 2010, Toba juga tidak memusnahkan flora dan fauna. Namun Timmreck mengakui, kehidupan di masa-masa tersebut memang sulit.
Michael Petraglia berpendapat, Toba memang bukanlah penyebab utama anjloknya jumlah populasi manusia di era tersebut. Akan tetapi Toba membuat situasi menjadi makin parah. Langkah selanjutnya, kata Petraglia, peneliti masih harus melanjutkan hasil temuan simulasi tersebut dengan observasi langsung di kawasan sekitar Toba untuk mengetahui secara lebih akurat dampak lingkungan yang terjadi.
Untuk mencari titik terang, tim peneliti yang dipimpin oleh Claudia Timmreck, dari Max-Planck Institute for Meteorology di Hamburg, Jerman membuat pemodelan yang mampu menggambarkan lebih realistis (meski metode ini juga memiliki beberapa kekurangan) apa yang terjadi saat Toba meletus.
Peneliti fokus ke bagaimana partikel sulfate aerosol yang terbentuk di stratosfir akibat letusan sulfur dioksida yang mengandung gas mendinginkan atmosfir dengan cara memantulkan sinar matahari. Dari data yang didapat, dan disesuaikan dengan asumsi yang sudah dibuat sebelumnya, diketahui bahwa Toba mengirimkan sekitar 850 juta metrik ton sulfur ke atmosfir. Angka ini 100 kali lebih banyak dibanding setoran gunung Pinatubo ke atmosfir. Dari simulasi juga diketahui bahwa dampak Toba memang hanya menurunkan suhu sebanyak 3 sampai 5 derajat Celcius di seluruh dunia. Akan tetapi, konsentrasi sulfur tidaklah padat dan segera hilang dari stratosfir selama 2 sampai 3 tahun saja. Perubahan temperatur secara ekstrim yang terjadi di Afrika dan India hanya berlangsung selama 1 sampai 2 tahun. Di kawasan ini, di tahun pertama suhu turun 10 derajat dan 5 derajat di tahun kedua.
Penggalian Timbunan Abu Vulkanik Toba di India Sedalam 6 Meter |
Menurut Timmreck, seperti dikutip dari ScienceMag, 25 November 2010, Toba juga tidak memusnahkan flora dan fauna. Namun Timmreck mengakui, kehidupan di masa-masa tersebut memang sulit.
Michael Petraglia berpendapat, Toba memang bukanlah penyebab utama anjloknya jumlah populasi manusia di era tersebut. Akan tetapi Toba membuat situasi menjadi makin parah. Langkah selanjutnya, kata Petraglia, peneliti masih harus melanjutkan hasil temuan simulasi tersebut dengan observasi langsung di kawasan sekitar Toba untuk mengetahui secara lebih akurat dampak lingkungan yang terjadi.
Sumber : VivaNews