Selasa, 14 Juni 2011

Belajar dari Kebohongan

Pada suatu malam, terjadi kecelakaan di sebuah desa. Sebuah minibus yang ditumpangi 10 orang terbalik berguling-guling di sebuah tingkungan tajam. Beberapa penduduk desa yang menyaksikan kecelakaan itu mengabarkan kepada penduduk yang lain dan mengajak mereka untuk menolong para penumpang yang ada dalam mobil. Kepala desa pun ikut serta. Tetapi, setelah mereka memeriksa semua penumpang, mereka berkesimpulan semua penumpang tewas dan harus dikubur malam itu juga.

Keesokan harinya, datang beberapa orang bersama polisi ke desa itu. Mereka mendatangi kepala desa dan bertanya tentang kecelakaan tadi malam. Kepala desa menceritakan kejadiannya, termasuk peristiwa pengurburan para penumpang minibus.

Polisi bertanya, “Apa penumpang-penumpang itu langsung meninggal semua?” Kepala desa menjawab, “Sebenarnya ada satu orang yang ketika akan dikubur masih bergerak dan bilang “Saya masih hidup”, tapi kami sudah lihat KTP-nya. Pekerjaan mereka politikus. Jadi mana kami percaya omongannya.”

***

Anekdot ini sudah lama beredar di masyarakat Indonesia dan sering diceritakan terutama pada masa Orde Baru untuk mengungkapkan ketidakpercayaan masyarakat pada politikus, baik anggota DPR/MPR maupun pejabat negara. Politikus menjadi obyek prasangka masyarakat, bahwa mereka suka bohong.

Setelah jatuhnya Soeharto pada Mei 1998, anekdot semacam ini sempat menghilang dari percakapan. Tetapi belakangan ini anekdot sejenis itu muncul lagi. Ada keraguan di masyarakat terhadap keseriusan pemerintah memperjuangkan kesejahteraan rakyat, juga keraguan terhadap kesungguhan para anggota DPR mewakili rakyat. Secara serius tuduhan kebohongan ditujukan kepada pemerintah dan anggota DPR, salah satunya disampaikan oleh tokoh-tokoh agama.

Pemerintah Dituduh Berbohong

Sekelompok agamawan menilai pemerintahan SBY saat ini telah melakukan kebohongan publik. Segala pernyataannya, tidak sama dengan kondisi yang nyata. Setidaknya ada 9 kebohongan yang dilakukan oleh pemerintah. Dinyatakan bahwa angka kemiskinan turun menjadi 31,02 juta orang tetapi jumlah penerima beras miskin justru 70 juta orang. Sementara, jumlah anggota masyarakat yang menerima jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), sebuah program kesehatan untuk masyarakat miskin, berjumlah 74, 6 juta.

Itu adalah contoh kebohongan yang membuat kelompok agamawan itu ‘gregetan.’ Mereka menambahkan, janji dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM, seperti penuntasan kasus Munir, juga tidak pernah diwujudkan. Bahkan, kasus pelanggaran HAM juga masih kerap terjadi sampai detik ini.

Tokoh lintas agama antara lain Din Syamsuddin berdialog dengan Presiden SBY dan jajaran menteri di Istana Negara, Senin (17/1/2011). Foto: TRIBUNNEWS.COM/HERUDIN
Pernyataan kelompok tokoh agama itu, ternyata cukup membuat kuping pemerintah panas. Mereka mengaku tidak pernah berbohong. Pertanyaannya, kenapa pemerintah langsung memberikan reaksi ketika dikatakan bohong? Kenapa tidak cukup bereaksi, ketika mahasiswa, aktivis menyatakan bahwa pemerintahan SBY telah gagal. Bisa jadi, anggapan bohong ini, bisa meluluhlantakkan pencitraan yang selama ini telah dibangun. Kita sering mendengar para pengamat politik bilang, Presiden keenam Indonesia ini mengedepankan politik pencitraan.

Presiden SBY.
Jika tuduhan kelompok tokoh agama itu terbukti maka persoalan besar dihadapi oleh Pemerintahan SBY. Sejarah menunjukkan, kebohongan yang sepertinya merupakan cara untuk menampilkan citra baik dan mempertahankan kekuaaan, pada ujungnya justru menjadi penggugah kemarahan rakyat untuk menurunkan penguasa. Peribahasa mengatakan, “Sekali lancung di ujian, seumur hidup orang tak percaya.” Berbohong, sebagai satu bentuk perilaku curang, punya akibat ketakpercayaan orang lain terhadap pelakunya.

Kebohongan Untuk Mempertahankan Kekuasaan

Banyak kalangan menilai, dalam 32 tahun memimpin Indonesia, selain otoriter Soeharto juga sering membohongi publik dengan bermain istilah dan merekayasa sejarah. Salah satunya melalui pemutaran film G 30 S/PKI dari tingkat sekolah dasar sampai atas. Melalui pemutaran film setiap 30 November atau 1 Oktober selama bertahun-tahun, salah satunya, konstruksi kenyataan politik tertentu disebarluaskan dan dipertahankan dalam benak kebanyakan orang Indonesia.

Soeharto saat masih berkuasa.
Belakangan, setelah lengser dari kursi jabatan, publik baru sadar bahwa sejarah yang dimunculkan dalam film itu adalah tak sesuai kenyataan. Tidak hanya itu, Soeharto juga telah membodohi masyarakat dengan istilah pembangunan dan demokrasi. Isu kestabilan ekonomi juga selalu dikedepankan ke publik. Padahal, semua itu dibangun berdasarkan data-data yang dimanipulasi. Faktanya, masyarakat yang kritis, langsung dibungkam. Pers dipaksa menjadi ‘anjing penjaga’ pemerintah; dipaksa untuk selalu memberitakan kebaikan dan kemajuan, memaparkan berita bohong.

Kini, di Mesir, telah menjadi pembuktian baru. Bahwa orde kebohongan akan berujung pada kehancuran. Hosni Mubarak, selama hampir 30 tahun memimpin negerinya dengan otoriter. Korupsi merajalela dan kebohongan pemerintah disebar di seluruh penjuru negeri. Tetapi, ternyata hal itu tidak cukup membendung gejolak jutaan rakyat, untuk menggulingkan tahta yang telah dibangun puluhan tahun. Ketika Mubarak, menawarkan akan adanya reformasi politik di negeri Mesir, ternyata publik tidak menggubrisnya sebab bukan sekali-dua kali ia berbohong tentang hal itu. Jutaan rakyat turun ke jalan, menuntut agar ia “turun tahta”.

Menghindari Perilaku Berbohong

Di dunia anak, kita mengenal tokoh Pinokio. Hidung boneka kayu yang berubah menjadi manusia itu terus memanjang saat ia berbohong. Tokoh ini pula kerap dijadikan contoh oleh orang tua dalam mengajar anak-anaknya untuk tidak berbohong. "Jangan suka bohong ya nak, nanti hidungnya panjang seperti Pinokio." Dalam kenyataan, meski efeknya tak langsung seperti memanjangnya hidup pinokio, berbohong membawa pelakunya pada situasi buruk. Konsekuensi negatif akan diterima oleh orang-orang yang berbohong, setelah sebelumnya merugikan orang yang dibohongi.

Boneka hidup Pinokio (Pinocchio).
Ada pertanyaan: Mana yang harus dipilih, bohong untuk kebaikan (white lies = kebohongan putih) atau jujur tapi menyakitkan? Dihadapkan pada dua pilihan ini, orang sering sulit memilih. Bicara jujur atau bohong, kelihatannya sama-sama sulit untuk dilakukan.

Menurut psikologi, disadari atau tidak, bohong merupakan mekanisme pertahanan diri yang paling umum dan mudah. Orang berbohong bisa jadi karena tidak percaya kepada orang lain, bisa juga karena orang tak siap menghadapi kenyataan yang sesungguhnya, atau itu dianggap hal yang tidak berbahaya dan jadi kebiasaan. Bisa juga orang berbohong karena tidak ingin menyakiti hati orang lain.

Apapun alasannya, bohong merupakan masalah dan bukan hal yang baik. Tidak ada orang yang mau dibohongi, bahkan jika pun itu menurut pelakunya ditujukan demi kebaikan. Akan lebih menjadi masalah lagi jika kebohongan itu terkait dengan kepentingan publik karena yang dikecewakan adalah banyak orang.

Apapun maksud kebohongan, itu tak bisa dibenarkan. Satu kebohongan bisa memicu kebohongan-kebohongan lain. Seperti kata pepatah, kejujuran tetap merupakan kebijakan terbaik. Kejujuran membuat semua hal yang tertutup menjadi terbuka, yang jelek dapat diperbaiki, dan menjadi dasar dari kehidupan bersama yang kuat. Jika terlanjur berbohong, cara mencegah itu berlanjut adalah dengan mengakuinya dan tidak mengulanginya. Misalnya, jika pemerintah dinilai bohong oleh tokoh agama maka sebaiknya tidak dibalas dengan kebohongan baru, melainkan dengan kejujuran.

Kita perlu belajar dari kebohongan orang, dari kebohongan penguasa-penguasa yang dijatuhkan rakyatnya. Kebohongan, biarpun ditutup rapat-rapat, akan tercium juga. Dan ketika orang lain menemukan kita berbohong mereka akan menjauhi dan mengabaikan kita. Apapun yang kita katakan, tak akan dipercaya, seperti politikus dalam anekdot di atas yang biarpun masih hidup tetapi dikubur karena orang-orang tak lagi percaya padanya. Kita patut belajar dari kisah Pinokio, kejatuhan Soeharto dan penentangan terhadap Hosni Mubarak: bohong membawa petaka. (sminet/0013)

*srimulyani.net
.
.

◄ Newer Post Older Post ►