
Barat terpikat keteguhan dan kesetiaan tanpa batas para samurai.Ada Jeff Cohen, James Clavell, Helen DeWitt, Lian Hearn.
Ryoma adalah legenda. Samurai terakhir menjelang  kehancuran kedigdayaan shogun selama berabad-abad itu menyerahkan  dirinya pada revolusi Meiji. Ia mengabadikan sebuah sejarah: kesetiaan  tidak akan tersaput waktu. Meski itu harus mengorbankan nyawanya.
Beratus tahun setelah itu, Jeff Cohen, seorang penulis dan  pengajar sejarah mengabadikan kisah itu dalam bukunya Ryoma:  Renaissance Samurai. Cohen, yang menggunakan nama pena Romulus  Hillsborough, merintis jalan panjang untuk menyelesaikan  buku fiksi sejarah itu.Tujuh tahun lamanya ia berkeliling Jepang, berdiam di banyak tempat  yang menjadi saksi sejarah jatuhnya kekuasaan shogun dan dimulainya  modernisasi Jepang pada antara 1853-1868.
Ia kemudian menemukan kisah menarik tentang para samurai yang  bertahan dalam kesetiaan, meski tidak mungkin menolak berakhirnya  feodalisme. Ryoma adalah salah satunya. Ia memilih mati lewat seppuku.
“Tidak mungkin menolak apa yang sudah datang, dan berakhir dengan cara kematian akan lebih abadi dan terhormat,” tulis Cohen.
Cohen juga menulis tentang Shinsegumi,  korp polisi samurai terakhir yang dibentuk shogun menjelang kejatuhan  mereka. Tujuan mereka, menjaga tegaknya hukum di tengah kondisi Jepang  yang kacau-balau. “Api  dibalas api… Teror dibalas teror”. Begitulah mereka mempertahankan  sikap.
Kesetiaan Ryoma dan para samurai lainnya yang membabi-buta memang  kadang ilogik bagi kaum pragmatik di dunia Barat. Sebuah pertanyaan  besar bagi mereka yang terbiasa dengan sikap kompromi untuk melancarkan  jalan. “Sukar mencari bentuk kesetiaan yang lebih absolut jika  berhadapan dengan semangat bushido,” kata asisten profesor  sejarah timur di Oxford University ini.
Cohen tidak seorang diri terpikat pada jalan hidup samurai. Banyak  penulis barat lainnya selama ratusan tahun meneliti dan menuangkan  pendapat mereka dalam bentuk fiksi, rekaman sejarah, dan esai. Sebagian  besar menunjukkan keterpikatan mereka pada falsafah hidup samurai yang  menyerahkan diri pada tuan mereka.Hidup para daimyo itu adalah hidup mereka. Kematian daimyo adalah  akhir hidup mereka. Budi dibalas budi. Nyawa dibalas nyawa. jalan hidup  bushido, yang mengagungkan pembelaan diri demi kehormatan dan kesetiaan  untuk mati demi menjaga kehormatan itu, dipandang Barat sebagai pilihan  yang irasional. Tidak heran jika di hadapan para musuhnya, samurai  memilih seppuku, mati sebagai jalan keluar. Jalan ini juga mereka pilih  jika pada akhirnya mereka menyadari tidak mungkin memenangi pertempuran  melawan musuh. Dalam ketenangan, sebelum jatuh dalam cengkeraman lawan,  para samurai ini merobek perutnya sendiri. “Kematian dalam  menjaga kesetiaan menjadi pilihan paling terhormat bagi para ksatria,”  kata Cohen.

“Budi dibalas budi. Nyawa dibalas nyawa.”
Buku Hagakure karya Yamamoto  Tsunetomo, yang menjabarkan perjalanan dan sejarah  samurai, diyakini sebagai pemicu pihak Barat untuk mempelajari kisah  samurai.
Keterpikatan yang sama juga  menyihir Lian  Hearn, seorang penulis Inggris yang berdiam di Australia,  untuk menulis kisah perseteruan klan di masa Edo, saat Jepang masih  dikuasai feodalisme. Pada awalnya ia adalah penulis drama anak-anak.  Hearn belajar bahasa di Oxford University serta bekerja sebagai kritikus  film dan editor seni di London sebelum menetap di Australia. Tak  mengherankan jika Hearn cukup fasih menerjemahkan cerita dalam plot-plot  yang kadang romantis, penuh ketegangan, dan mengejutkan.Hearn terpesona oleh eksotisme budaya dan sejarah Jepang.  Ketertarikan pada Jepang membuatnya belajar bahasa Jepang. Kesempatan  tinggal di Jepang selama 12 minggu atas beasiswa Asialik membuat Hearn  benar-benar bisa menyelami budaya Jepang. Tidak hanya kisah rekaan yang  dibuatnya, tapi sekaligus peta kerajaan, silsilah, dan lambang beberapa  klan untuk mendukung bukunya ini.
Hasilnya, Across the Nightingale Floor terbit pada  2002. Seri pertama kisah klan yang awalnya menjadi trilogi ini sangat  fenomenal. Buku ini diterjemahkan dalam 26 bahasa dan memperoleh 11 penghargaan dari berbagai  negara. Seri kedua, Grass for His Pillow dan  Brilliance of the Moon, berkisah tentang perjuangan Takeo  merebut kekuasaan yang memang menjadi haknya sebagai ahli waris klan  Otori.



